Sembahyang Rumputan

(1996)
Karya Sastra

Sembahyang Rumputan merupakan kumpulan puisi karya Ahmadun Yosi Herfanda yang diterbitkan Yayasan Bentang Budaya, Yogyakarta, pada tahun 1996. Kumpulan puisi ini terdiri atas 68 puisi (ix + 92 halaman).

Kumpulan puisi ini pada tahun 2005 diterbitkan dalam dua bahasa, Indonesia dan Inggris, dengan judul Sembahyang Rumputan (The Worshipping Grass). Dalam buku tersebut dimuat 66 sajak Indonesia disertai terjemahannya dalam bahasa Inggris. Salah satu sajak itu berjudul "Sembahyang Rumputan" yang dimuat pada halaman 82—83. Buku setebal 208 halaman diterbitkan oleh Yayasan Obor Indonesia, Jakarta.

Mohammad Soelhi, penerjemah sajak yang dimuat dalam buku itu, menyatakan bahwa hampir semua pecinta sastra Indonesia mengenal Ahmadun Yosi Herfanda sebagai penyair yang berbakat. Selanjutnya, dinyatakan bahwa jika ingin mengetahui lebih dekat sajak-sajaknya, kita dapat membaca kumpulan sajak terpentingnya, Sembahyang Rumputan, di samping buku kumpulan sajaknya yang lain, seperti Sang Matahari(Nusa Indah, 1984), Sang Penari (Masyarakat Poetika Indonesia, 1991), dan Fragmen-Fragmen Kekalahan (Angkasa, 1996).

Sajak yang dimuat dalam buku tersebut antara lain berjudul "Doa Pembuka (Opening Prayer)", "Sajak Urat Leher (Poem of Neck Muscle)", "Zikir Seekor Cacing (Zikir of a Worm)", "Sungai Iman (River of Faith)", "Zikir Semut (Zikir of an Ant)", "Doa Jalan Raya (Road Prayer)", "Suluk Komputer (Computer Addiction)", "Doa Matahari (The Sun Prayer)", "Tahajud Sunyi (Tahajud in Loneliness)", "Doa Bayang-Bayang (Shadow Prayer)", dan "Catatan Silaturrahim (Relationship Note)".

Dalam prolog buku tersebut Herfanda (2005) menyatakan bahwa di antara 1.000 sajak yang ditulisnya dalam rentang waktu hampir 28 tahun (1976—2004), sajak "Sembahyang Rumputan" memang paling populer, paling disukai publik sastra, paling banyak mendatangkan berkah bagi perjalanan kepenyairannya, dan tentu paling banyak memberi citra baik. Sajak tersebut memperoleh penghargaan nasional (sajak terbaik dalam Sayembara Penulisan Sajak Iqra, 1992) dan penghargaan internasional (sajak terbaik dalam Peraduan Menulis Sajak Mabbim—forum Menteri Agama Brunei Darussalam, Indonesia, Malaysia, dan Singapura) untuk versi pendeknya yang berjuudul "Zikir Rumputan". "Sembahyang Rumputan" juga sering dipilih sebagai bahan lomba membaca sajak dan musikalisasi sajak di berbagai daerah. Selanjutnya, dikatakan bahwa Sembahyang Rumputan lahir dari pergulatan batin dan perenungan panjang tentang tujuan dan makna hidup sekaligus hakikat salat yang menjadi bagian dari rutinitas keseharian seorang muslim karena harus dilaksanakan lima kali sehari. Bagi seorang muslim, tujuan hidup akan selalu sampai pada pertanyaan tentang tujuan penciptaan manusia, sebagaimana ditegaskan dalam Alquran, yaitu sebagai abdi Allah ('abdillāh) dan sebagai wakil Allah (khalifatullāh) di bumi. Tujuan hidup seorang abdi Allah ialah mengabdi sekaligus menyerahkan diri secara total terhadap Al-Khalik. Ia akan memperuntukkan seluruh hidup dan matinya, salatnya, dan ibadah lainnya hanya bagi Allah semata, sebagaimana selalu diucapkannya dalam doa iftitah pada awal tiap salat fardu: inna śalātī wa nusukī wa maĥyāya wa mamātī lillāhirabbil 'ālamīn ('sesungguhnya salatku, ibadatku, hidupku, dan matiku, hanyalah bagi Allah, Tuhan sekalian alam'). Itulah spirit kreatif kepenyairan Ahmadun sehingga penggalan doa iftitah itu dikutipnya hingga dua kali dalam sajak "Sembahyang Rumputan". Sajak tersebut dianggap sebagai landasan spiritual sekaligus orientasi kepenyairannya. Sajak tersebut merupakan manifestasi ke-'abdillāh-an sekaligus ke-khalifatullāh-an Ahmadun sebagai manusia ciptaan Allah. Menurutnya, kegiatan menulis sajak merupakan bagian dari ibadah kepada Allah SWT (Herfanda, 2005)

Mohammad Shoelhi (dalam Herfanda, 2005) menyatakan bahwa sajak-sajak yang dimuat dalam Sembahyang Rumputan tergolong sajak sosial religius dengan gaya surealistik. Melalui sajak-sajak tersebut, pengarang mengajak pembaca untuk merenungkan makna hidup, merasakan, dan mengajak mereka ke jalan kebenaran.

Dalam epilognya, penerjemah (Herfanda, 2005) menyatakan bahwa banyak orang berpendapat bahwa karya-karya Herfanda, secara estetik ataupun tematik, sangat bagus. Dalam menyampaikan perenungan hidup, perasaan, dan pesan-pesannya tentang kebaikan, sajak-sajaknya tidak bermakna ganda. Berdasarkan simbol-simbol dan metafor-metafor yang dipilih dalam sajaknya, dapatlah dikatakan bahwa Herfanda telah memodifikasi semua prinsip estetika dan gaya bahasa dalam bersajak. Sajak-sajaknya tidak pernah kehilangan makna, tetapi selalu berisi makna yang mendalam dan mengesankan.

Sebagai contoh apresiasinya, penerjemah merasa sangat terkesan ketika membaca ilustrasinya dalam pencitraan yang akurat, seperti rumput yang tidak pernah berhenti berdoa sungguhpun saat itu bertiup topan dengan cepatnya, dibakar api, dibabat oleh pedang, diinjak-injak kaki manusia (kekerasan), dan dikucilkan ke hutan. Penerjemah juga membenarkan bahwa karakter rumput (dalam sajak "Sembahyang Rumputan") melambangkan semanggat religius yang tidak pernah mati. Di dalam situasi dan kondisi apa pun, dalam kondisi yang kurang baik sekalipun, ia (rumput) tidak pernah berhenti berdoa: suatu pertanda ketundukan jiwa dan raga, ketundukan yang sepenuhnya, setulus-tulusnya, suatu totalitas kepasrahan kepada tuhannya.

Selain menggambarkan kualitas kepribadian, rumput juga melambangkan kesederhanaan, kekhusyukan, dan ketidakberartian manusia di hadapan Sang Pencipta. Rumput juga melambangkan suatu kekuatan yang tidak dapat hancur. Rumput dapat saja dibakar (manusia) atau terbakar, tetapi akan segera tumbuh rumput baru yang lebih hijau dan lebih segar. Rumput juga merupakan lambang perlawanan yang tersembunyi dalam menghadapi tekanan kekuasaan dan kekuatan yang dapat menyusup diam-diam. Rumput adalah kekuatan tersembunyi yang tidak bisa hancur. Oleh karena itu, sajak Sembahyang Rumputan dengan lembut dapat memotivasi pembaca untuk melihat seberapa penting mereka memiliki kualitas kepribadian seperti "rumput".

Dalam sajaknya yang lain, "Zikir Seekor Cacing", Herfanda berhasil mengimajikan dirinya seperti seekor cacing yang merayap di dalam lumpur yang kotor, bergerak dalam selokan yang kumuh, tetapi dengan teguh tetap bersyukur dan memuji kebesaran Tuhan karena ia dapat mengambil bagian dalam menyuburkan lahan, membuka jalan bagi akar pepohonan untuk menyusup ke dalam tanah, menumbuhkan bunga di taman, dan menjadi makanan bagi ikan. Apa pun yang semula tidak berharga dan tidak berguna menjadi berharga dan berbangga diri jika dapat memberi manfaat dan rela berkorban bagi lingkungannya. Cacing adalah makhluk melata yang tidak ada harganya, tetapi pandai bersyukur karena dapat memberi manfaat dan rela berkorban bagi lingkungannya. Cacing melambangkan kepribadian manusia yang suka berkorban, tulus, tanpa mengharapkan pujian bagi dirinya.

Pada sajaknya yang lain, Mohammad Shoelhi juga menemukan kepeduliannya pada masalah-masalah sosial, pada mereka yang ditimpa bencana, dan nasib manusia yang menderita. Ia merasa gelisah dan prihatin melihat adanya kesenjangan sosial. Ia menyatakan keprihatinannya atas nasib pengungsi dan korban perang, nasib gelandangan, petani miskin, dan pekerja kasar yang bergaji kecil, yang tersirat pada "Sajak Segelas Susu" yang menggugah kepedulian pembaca pada orang lain.

Akhirnya, Mohammad Shoelhi menyimpulkan bahwa sajak Herfanda dalam buku Sembahyang Rumputan sungguh luar biasa dan sangat mengesankan, penuh dengan pencarian makna hidup yang dalam. Pesan di belakang sajaknya merupakan cermin kepribadiannya, kepribadian seseorang yang berusaha keras menemukan kebenaran sejati tentang masalah kemanusiaan, ketuhanan, filsafat, peradaban, dan sejarah, serta yang merindukan kehidupan kekal dalam cinta-Nya (Herfanda, 2005).