Wiji Thukul
(1963—...)Wiji Thukul lahir 26 Agustus 1963 di Kampung Sorogenen, Solo, yang mayoritas penduduknya tukang becak dan buruh. Thukul berasal dari keluarga tukang becak. Sebagai anak tertua dari tiga bersaudara, ia berhasil menamatkan SMP (1979), lalu masuk Sekolah Menengah Karawitan Indonesia (SMKI) Jurusan Tari, tetapi keluar (drop-out) pada tahun 1982. Setelah itu, ia berjualan koran, kemudian oleh tetangganya diajak bekerja di sebuah perusahaan mebel antik sebagai tukang pelitur. Ketika bekerja sebagai tukang pelitur itu, ia sering mendeklamasikan puisinya untuk teman sekerjanya.
Wiji Thukul, dikenal sebagai penyair pelo (cadel), ia mulai menulis puisi ketika masih duduk di bangku sekolah dasar (SD) dan mulai tertarik pada dunia teater ketika di sekolah menengah pertama (SMP). Melalui teman sekolahnya, ia ikut sebuah kelompok teater, yaitu Teater Jagalan Tengah (Jagat). Bersama dengan rekan-rekan dalam Teater Jagat itulah ia pernah keluar masuk kampung, tidak hanya di wilayah Solo, tetapi juga hingga ke Yogyakarta, Klaten, dan Surabaya--mengamen puisi dengan berbagai iringan musik: rebana, gong, suling, kentongan, gitar, dan sebagainya.
Tahun 1988 ia pernah menjadi wartawan Masa Kini—walaupun hanya tiga bulan. Sajak-sajaknya diterbitkan dalam media cetak, baik di dalam negeri maupun di luar negeri, seperti Suara Pembaharuan, Bernas, Surabaya Post, Merdeka, Inside Indonesia (Australia), Tanah Air (Belanda), dan penerbitan mahasiswa, seperti Politik (Universitas Nasional, Jakarta), Pijar (Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta), dan Keadilan (Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta). Jika dibandingkan dengan yang dimuat di media cetak, sajaknya lebih banyak berbentuk fotokopi yang tersebar di antara kawan-kawan dan orang yang mengaguminya. Selain menulis sajak, Thukul juga menulis cerpen, esai, dan resensi puisi.
Dua kumpulan sajaknya, Puisi Pelo dan Darman dan Lain-Lain, diterbitkan oleh Taman Budaya Surakarta. Tahun 1989 ia diundang membaca puisi oleh Goethe Institut di aula Kedutaan Besar Jerman di Jakarta. Tahun 1991 ia tampil di Pasar Malam Puisi yang diselenggarakan Erasmus Huis, di Pusat Kebudayaan Belanda, Jakarta. Tahun 1992 sebagai penduduk Jagalan-Pucangsawit, ia bergabung bersama masyarakat sekampungnya, di sekitar pabrik tekstil PT Sariwarna Asli, untuk ikut memprotes pencemaran lingkungan yang diakibatkan oleh pabrik tekstil itu.
Pada tahun 1991 ia menerima Wertheim Encourage Award yang diberikan oleh Wertheim Stichting di Negeri Belanda. Bersama W.S. Rendra, Wiji Thukul merupakan penerima hadiah pertama sejak yayasan itu didirikan untuk menghormati sosiolog dan ilmuwan Belanda, W.F. Wertheim.
Dalam "Esai Pengantar" buku kumpulan puisi Thukul, Aku Ingin Jadi Peluru, Munir menyatakan bahwa kalimat pendek, "Hanya ada satu kata, 'Lawan!'" jauh lebih dikenal daripada Wiji Thukul sebagai seorang yang telah menorehkan puisi perlawanan. Dia telah berhasil menemukan api bagi sebuah simbol perlawanan. Kalimat itu telah menjadi semacam roh bagi kebangkitan jiwa-jiwa yang mencoba menemukan kembali jati dirinya, yaitu sebuah kekuatan melawan rezim otoritarianisme. Kalimat itu telah menunjukkan pilihan hidup Wiji Thukul untuk bergabung dengan setiap barisan perlawanan atas rezim militeristik Orde Baru. Pilihan itu bukan pilihan yang mudah. Dia telah membayar mahal. Dia telah menjadi korban praktik penghilangan orang.
Thukul benar-benar sosok militan yang cukup cerdik untuk menggerakkan dirinya dan anggota masyarakat lain agar peduli akan masa depan. Di balik ketegarannya itu, Thukul adalah pribadi yang penuh misteri, seperti banyaknya lompatan misteri di balik puisi-puisinya.
Tentang "proses kreatif", Thukul menyatakan dalam "Pengantar" buku Aku Ingin Jadi Peluru halaman xiv bahwa penyair haruslah berjiwa bebas dan aktif'. Bebas dalam mencari kebenaran dan aktif mempertanyakan kembali kebenaran yang pernah diyakininya. Oleh sebab itu, belajar terus-menerus mutlak dilakukan. Memperluas wawasan dan cakrawala pemikiran akan sangat menunjang kebebasan berkarya dan fanatik gaya atau tema dapat dihindarkan sehingga proses kreatif tidak terganggu. Belajar tidak harus di bangku sekolah atau di kampus, tetapi bisa di mana-mana dan kapan saja: di perpustakaan atau membaca gelagat lingkungan atau apa saja, pokoknya yang bisa mempertajam kepekaan penyair terhadap gerak hidup dirinya dan hidup di luarnya.
Dalam Pengantar buku Aku Ingin Jadi Peluru, Redaksi Indonesia Tera mengungkapkan bahwa Wiji Thukul muncul dalam sebuah ruang yang khusus di tengah wacana kekerasan yang menekannya selama puluhan tahun. Dia adalah salah seorang penyair yang gigih, baik dalam memperjuangkan gagasannya, maupun dalam memperjuangkan hidup dan kebenaran-kebenaran yang diyakininya. Dia juga gigih dalam membela mereka yang selalu berhadapan dengan kesewenang-wenangan kekuasaan dengan caranya. Dalam risiko apa pun, ia tidak pernah surut dengan keyakinannya atas apa yang dianggapnya benar dan "harus dibela". Hanya ada satu kata, "Lawan!" teriaknya.
Dalam sampul belakang buku tersebut Arief Budiman menyatakan, "Membaca puisi Wiji Thukul adalah membaca otobiografi kejiwaan penyair. Dia menceritakan nasib jutaan rakyat Indonesia yang dimiskinkan oleh proses pembangunan yang terlalu menguntungkan kaum elitnya.