Usmar Ismail
(1921—1971)Usmar Ismail mula-mula dikenal sebagai penyair kemudian sebagai penggiat di bidang sandiwara, dan aktif di bidang perfilman. Dia lahir di Bukittinggi, Sumatra Barat, 20 Maret 1921 dan meninggal secara mendadak karena stroke pada tanggal 2 Januari 1971 di Jakarta.
Pendidikan yang pernah ditempuhnya adalah HIS, MULO B, AMS-A II sampai tahun 1941. Pada tahun 1952 Usmar Ismail mendapat beasiswa dari Yayasan Rockefeller untuk belajar film di Amerika menjadi Sarjana Muda Jurusan film di UCLA (University of California in Los Angeles) 1953.
Sajak-sajak Usmar Ismail dikumpulkan dalam Puntung Berasap dan naskah sandiwaranya dalam Sedih dan Gembira (Jakarta: Balai Pustaka, 1948). Pada masa pendudukan Jepang ia menjadi wakil kepala bagian Drama di Pusat Kebudayaan. Di situ ia melakukan langkah-langkah pembaharuan di bidang sandiwara. Bersama kakaknya, Dr. Abu Hanifah, dan para seniman dan intelektual, serta seniman muda masa itu, seperti Cornel Simanjuntak, mereka mendirikan perkumpulan sandiwara "Maya". Para pemainnya, antara lain, adalah Rosihan Anwar dan H.B. Jassin. Padahal, saat itu sandiwara dalam pandangan umum adalah bidang kegiatan untuk kalangan rendah. Perkumpulan sandiwara "Maya" mementaskan karya-karya Usmar Ismail sendiri.
Pada masa revolusi Usmar Ismail menjadi tentara dengan pangkat mayor, berdomisili di pusat pemerintahan RI, Yogyakarta. Saat di Yogyakarta inilah Usmar Ismail memimpin harian Patriot dan majalah Arena sebagai gelanggang bagi seniman muda. Selain itu, Usmar Ismail juga bertindak sebagai ketua Badan Musyawarah Kebudayaan Indonesia, Serikat Artis Sandiwara dan PWI (Persatuan Wartawan Indonesia). Saat itu perhatiannya terhadap dunia film mulai terlihat. Bersama seniman bekas anggota "Maya", mereka menyelenggarakan diskusi-diskusi mengenai film.
Usmar Ismail pernah ditangkap Belanda pada tahun 1948 ketika ia sedang melaksanakan tugas sebagai jurnalis, yakni meliput perundingan Belanda-RI di Jakarta. Dia ditangkap Belanda karena Belanda tahu bahwa ia adalah juga seorang mayor tentara. Usmar Ismail ditahan, tetapi juga dipekerjakan di studio film untuk membantu Andjar Asmara membuat film. Dalam lingkungan studio Belanda itu ia membuat dua film, yaitu Harta Karun dan Tjitra. Dengan begitu, ia mulai terlibat dalam kegiatan yang diminatinya. Usmar menyatakan tidak puas dengan hasilnya itu karena lingkungan pembuatannya tidak mendukung. Dengan pengalaman tersebut, Usmar Ismail merasakan bahwa film yang saat itu dianggap media modern berkesenian adalah alat pengucapan baru yang tepat bagi seniman untuk menyatakan karyanya. Oleh sebab itu, saat Belanda mengakui kedaulatan RI dan pergi dari negeri ini, langkah Usmar yang pertama adalah berhenti dari ketentaraan dan mendirikan perusahaan film bersama teman-temannya yang berasal dari perkumpulan sandiwara "Maya" dan teman-temannya yang berasal dari Yogyakarta.
Pada bulan Maret 1950 berdiri sebuah lembaga perfilman di Indonesia, PERFINI. Tujuannya adalah melakukan pembaharuan pada pembuatan film Indonesia Produksi pertama PERFINI adalah film yang berjudul Long March (Darah dan Do'a) karya Usmar Ismail. Dia menyatakan bahwa sebuah film seharusnya tidak bergantung pada dana. Bagi Usmar Ismail sebuah film tidak harus selalu bersifat komersil, tetapi sebuah film merupakan hasil karya seni yang bebas dan harus bisa mencerminkan kepribadian nasional. Pokok pikiran inilah yang menjadi pertimbangan utama ditetapkannya tanggal 30 Maret, hari pertama pembuatan film Darah dan Do'a sebagai Hari Film Nasional oleh Dewan Film Nasional sejak tahun 1962.
Karya film Usmar Ismail, antara lain, adalah Darah dan Do'a (1950), Enam Djam di Yogya (1951), Kafedo (1953), Krisis (1953), Lewat Djam Malam (1954), dan Tamu Agung (1955). Melalui filmnya yang berjudul Darah dan Doa Usmar Ismail mendapat tanggapan yang baik dari kritikus dan dunia kesenian sebagai tokoh pembaharu seni film Indonesia. Salah satu filmnya yang berjudul Kafedo mendapat pengaruh Amerika. Film berikutnya yang menggambarkan perubahan sosial dan mendapat sukses komersil berjudul Lewat Djam Malam (1954). Film ini dibuat berdasarkan cerita/skenario Asrul Sani. Melalui film ini, Usmar Ismail berhasil mengubah permainan artis dan aktor A.N. Alcaf, Dahlia, dan Bambang Hermanto ke dalam gaya akting yang terbebas dari gaya sandiwara yang sangat mempengaruhi akting film Indonesia saat itu, dan menghasilkan akting yang kreatif.
Usmar Ismail di dalam berkarya selalu memegang prinsip mempertahankan mutu, seperti film Tamu Agung yang mendapat penghargaan sebagai film komedi terbaik dari FFA, tetapi dalam pemasarannya di Indonesia tidak sukses. Sindiran-sindiran politik yang disajikan Usmar belum bisa ditangkap penonton film Indonesia pada masa itu, sedangkan penonton elit tidak mau menontonnya. Sikap dan pandangan Usmar Ismail seperti inilah yang dianggap membawa PERFINI pada kebangkrutan. Tahun 1957 kompleks studio filmnya diambil alih bank. Untuk menolong kondisi perusahaannya itu ia terpaksa membuat beberapa film hiburan yang sukses sebagai film komersil adalah Tiga Dara (1956), Delapan Pendjuru Angin (1957), dan Asmara Dara (1958). Akibatnya, Umar mendapat serangan habis-habisan dari kalangan komunis sebagai penghianat dan agen Amerika. Film berikutnya yang dibuat oleh Usmar Ismail Pedjoang (1960) berhasil meraih penghargaan dari Festival Film International Moscow tahun 1961 untuk peran utama, yang dimainkan oleh Bambang Hermanto. Ketokohan Usmar Ismail di dunia film terlihat pada masa itu. Berdua dengan tokoh produser Djamaluddin Malik, mereka dikenal sebagai dwi tunggal perfilman nasional. Bergantian dengan Djamaludin Malik, Usmar menjadi ketua PPFI kemudian menjadi ketua BMPN (Badan Musyawarah Perfilman Nasional). Usmar Ismail adalah seorang religius dan Djamaludin Malik adalah tokoh NU. Oleh sebab itu, mereka berdua dianggap sebagai musuh PKI.
Ketika serangan semakin bertambah berbahaya, pada tahun 1962 Djamaluddin Malik bersama Asrul Sani membidani lahirnya LESBUMI (Lembaga Seniman Budayawan Muslimin Indonesia) dalam tubuh NU, dan Djamaluddin Malik menjadi ketua umumnya. Karena NU merupakan kekuatan politik yang penting saat itu, kalangan kiri tidak bisa gegabah lagi menyerang Usmar Ismail. Mewakili NU, pada tahun 1966—1969 Usmar duduk sebagai anggota DPR RI.
Artikel-artikel yang pernah ditulis oleh Usmar Ismail antara lain adalah "Drive-In" Theatre: Tempat Muda-Mudi Bercanda dan Bercumbu" dimuat di Star News No. III, hal 17-19 (1953), "Film sebagai Media Dakwah", "Sari Soal Dalam: Film Indonesia" "Sejenak Dengan: Elia Kazan", "Sejenak Dengan: Willdiam Wyler", dan "Usmar Mengantar: Meninjau Dunia Film".
Alex Leo Zulkarnaen dalam majalah Film Januari 1991 menegaskan bahwa Usmar Ismail adalah manusia multidimensi; ia pejuang, budayawan, wartawan, dan juga insan film. Sudah sepantasnyalah semangat dan cita-cita Bapak Perfilman Indonesia ini dilanjutkan. DH. Awaluddin Djamin, mantan Kapolri dalam majalah Film, Januari 1991 menyatakan bahwa Usmar adalah orang yang begitu bersahaja sampai-sampai dalam pembuatan filmnya, ia tidak pernah memilih-milih aktor. Untuk aktor petani, ia memilih petani. Bukannya seperti dirinya yang tidak mengerti akting dan kamera, tiba-tiba ditunjuk untuk berperan menjadi letnan dalam film Long-Marc. Komentar lain datang dari H. Misbah Yusa Biran, Panca Tunggal Perfilman Nasional yang dimuat dalam Majalah Film, Januari 1991 halaman 14 menyatakan bahwa kita harus kembali pada cita-cita Usmar Ismail dan meneruskan perjuangannya untuk menegakkan film Indonesia. Sementara itu, Pitradjaja Burnama dalam artikelnya yang dimuat di Vista Nomor 352 Tahun 1977menyatakan bahwa piala yang diperebutkan dalam Festival Film Indonesia yang memakai nama Usmar Ismail merupakan pengakuan tertinggi dari dunia film nasional terhadap jasa-jasanya.
Komentar lain datang dari seorang tokoh sastra Umar Kayam dalam artikelnya yang berjudul "Usmar Bicara tentang Usmar", dimuat di Kedaulatan Rakyat, 21 September 1987. Dalam pandangan Umar Kayam, Usmar Ismail bukan hanya seorang sineas, melainkan juga seorang intelektual, guru, dramawan, dan wartawan. Film yang dibuat Usmar Ismail mengandung nilai seni yang dalam dan mempunyai nilai artistik sehingga dalam setiap filmnya, ia senantiasa meninggalkan pesan-pesan kehidupan. Pemilihan masalah yang diungkapkan Usmar Ismail hingga kini masih aktual, sehingga sampai saat ini pun film-film Usmar Ismail masih tetap dikenang.
Penghargaan yang pernah diterima oleh Usmar Ismail, antara lain, (1) Piagam Diploma Di Partecipazionale Mostra Internazionale D` Arte Cinematografica yang dianugerahkan kepada Usmar Ismail oleh Presidente Biennale di Venezia pada tahun 1959; (2) Piagam Widjajakusuma yang dianugerahkan kepada Usmar Ismail oleh Presiden Republik Indonesia (Soekarno) pada 17 Agustus 1962; (3) penghargaan warga teladan yang dianugerahkan kepada Usmar Ismail oleh Gubernur DKI Djakarta pada tanggal 22 Juni 1971. Penghargaan lain yang menggunakan nama Usmar Ismail sebagai tonggak perkembangan kebudayaan adalah (1) Piala Citra Usmar Ismail dianugerahkan kepada Penulisan Kritik Film Terbaik oleh Panitia FFI pada tahun 1982, (2) Piala Citra Usmar Ismail diberikan untuk Penulisan Kritik Film Terbaik pertama kali pada Festival Film Indonesia Tahun 1982, (3) piagam Dewan Film Nasional (DFN) yang dianugerahkan kepada Usmar Ismail oleh Menteri Penerangan (Harmoko) pada 6 Agustus 1985, (4) piagam Tanda Kehormatan Bintang Mahaputra Utama dianugerahkan kepada Usmar Ismail oleh Presiden Republik Indonesia pada tanggal 30 Juni 1996. Piagam Tanda Kehormatan Satyalencana Kebudayaan ianugerahkan kepada Usmar Ismail oleh presiden Republik Indonesia pada tanggal 06 Agustus 1997. Sebagai penghargaan terhadap ketokohannya dalam dunia film pemerintah DKI Jakarta mendirikan Pusat Perfilman H. Usmar Ismail yang diresmikan penggunaannya pada 20 Oktober 1975 dan organisasi pengelolanya ditetapkan dengan Surat Keputusan Gubernur DKI Jakarta, Nomor D.III-4835/7/75 tanggal 24 Agustus 1975.