Umar Kayam

(1932—2002)
Pengarang

Umar Kayam, penulis ternama di Indonesia, memiliki tiga sebutan sekaligus: sastrawan, budayawan, dan sosiolog. Dia lahir di Ngawi, Jawa Timur, tanggal 30 April 1932 dan meninggal 16 Maret 2002 di Rumah Sakit MMC, Jakarta. Umar Kayam adalah seorang priyayi yang bergelar raden mas, menikah dengan Yus Kayam (seorang redaktur majalah Ayahbunda) dan mempunyai dua orang anak.

Pada suatu waktu, sepulang dari sebuah perjalanan di Irian Jaya, Umar Kayam mendapatkan nama ''Kiwati''. Tidak mudah mendapat nama baru itu. Konon, ia harus menerobos kelangkang tiga perempuan untuk bisa ddiangkat sebagai anak pungut Pak Buram dari suku Asmat di pedalaman Irian Jaya yang usianya enam tahun lebih muda darinya. Selain itu, banyak temannya yang memanggil nama Umar Kayam dengan sebutan Uka.

Umar Kayam menyelesaikan sarjana muda di Fakultas Pedagogik Universitas Gadjah Mada (1955), meraih M.A. dari Universitas New York, AS (1963), dan meraih Ph. D. dari Universitas Cornell, AS (1965).

Dia pernah menjadi dosen Sekolah Tinggi Filsafat Driyakara, Jakarta, dosen Universitas Indonesia, dan pernah menjabat, Direktur Jenderal Radio, Televisi, dan Film Departemen Penerangan RI (1966—1969), Ketua Dewan Kesenian Jakarta (1969—972), senior fellow pada East-West Center, Hawaii, AS (1973), Direktur Pusat Latihan Ilmu-Ilmu Sosial Universitas Hasanuddin, Ujungpandang (1975—1976), Direktur Pusat Penelitian Kebudayaan Universitas Gadjah Mada (1977—), Ketua Dewan Film Nasional (1978—1979), Ketua Lembaga Pendidikan Kesenian Jakarta (1981—), Ketua Dewan Juri Festival Film Indonesia (1984—), Guru Besar Fakultas Sastra, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta (1988—pensiun), anggota penyantun majalah Horison (mengundurkan diri sejak 1 September 1993), dan anggota Akademi Jakarta (1988—seumur hidup).

Umar Kayam tidak hanya menulis karya sastra (cerpen dan novel), tetapi juga menulis esai, kolom, dan karya ilmiah. Dalam posisinya sebagai penulis, doktor sosiologi dari Cornell University, Amerika Serikat ini dinilai oleh sementara pakar tidak sepenuhnya berada di dunia ilmu, tetapi juga tidak sepenuhnya berada di dunia seni. Dia memadukan keduanya (ilmu dan seni), sehingga pada beberapa tulisannya sulit dicari garis tegas membedakan tulisan-tulisannya itu sebagai karya fiksi atau karya ilmiah. Hal itu terutama terlihat dalam karya-karya yang ditulisnya setelah Seribu Kunang-Kunang di Manhattan (1972), seperti Sri Sumarah dan Bawuk (novelet, 1975), Para Priyayi (novel, 1997), dan Jalan Menikung (novel, 1999). Cerpennya yang berjudul "Seribu Kunang-Kunang di Manhattan" mendapat hadiah majalah Horison 1996/67. Dia juga mendapat hadiah Sastra ASEAN (SEA Write Award) pada 1987 dari Kerajaan Thailand dan tahun 1995 mendapat hadiah Yayasan Buku Utama Departemen P dan K atas karyanya Para Priyayi.

Dalam peta kesusastraan Indonesia, Umar Kayam dikenal sebagai penulis prosa (cerpen dan novel) yang berhasil. Meskipun tidak tergolong sebagai penulis yang produktif, ia dianggap telah melahirkan karya sastra (cerpen dan novel) yang berkualitas.

Dia baru mulai menulis karya sastra ketika mendapat kesempatan memperdalam ilmunya di Amerika. Sebelumnya, sejak masih sebagai mahasiswa di Fakultas Sastra, Universitas Gadjah Mada, perhatiannya lebih difokuskan pada jenis kegiatan di bidang seni lainnya, yaitu teater dan film. Konon, tahun 1954/1955 Umar Kayam dikenal sebagai aktivis Teater Fakultas Sastra, Pedagogik, dan Filsafat UGM. Dia pernah menyutradarai lakon "Hanya Satu Kali" saduran Sitor Situmorang dan karya Robert Middelmans yang peran utamanya dimainkan Rendra. Di samping itu, ia juga menulis skenario film. "Jalur Penang dan Bulu-Bulu Cendrawasih" yang difilmkan pada 1978. Umar Kayam juga pernah bermain sebagai aktor dalam film "Karmila" dan "Pengkhianatan G-30-S/PKI". Dalam film yang kedua itu ia memerankan tokoh Bung Karno sebagai Presiden Republik Indonesia pertama. Itulah peran Umar Kayam dalam film Pengkhianatan G-30-S/PKI, yang paling banyak ditonton tahun 1984—1985 sehingga memenangi Piala Antemas pada FFI 1985 di Bandung. Karya sastra yang telah dihasilkan Umar Kayam, antara lain adalah(1) Seribu Kunang-Kunang di Manhattan (kumpulan cerpen, Jakarta, Pustaka Jaya, 1972); (2) Sri Sumarah dan Bawuk (dua novel pendek, Jakarta, Pustaka Jaya, 1975); (3) Para Priyayi: Sebuah Novel (novel, Jakarta, Pustaka Utama Grafiti, 1992); (4) Parta Krama (kumpulan cerpen, Yogyakarta, Yayasan untuk Indonesia, 1997); dan (5) Jalan Menikung: Para Priyayi 2 (novel, Jakarta, Pustaka Utama Grafiti, 1999).

Seribu Kunang-Kunang di Manhattan serta Sri Sumarah dan Bawuk diterbitkan dalam edisi bahasa Inggris (1980) dan dalam edisi bahasa Belanda (1981). Secara terpisah cerpen-cerpen Umar Kayam, terutama yang terkumpul dalam Seribu Kunang-Kunang di Manhattan, telah disalin orang ke berbagai bahasa asing, seperti Jepang, Jerman, dan Perancis. Khusus cerpennya yang berjudul "Seribu Kunang-Kunang di Manhattan" telah disalin ke beberapa bahasa Nusantara, seperti Jawa, Sunda, Minang, dan Makasar.

Berdasarkan angka tahunnya, antara penerbitan Sri Sumarah dan Bawuk (1975) dan Para Priyayi: Sebuah Novel (1992) terdapat rentang waktu yang sangat lama, yakni 17 tahun. Hal itu tidak berarti bahwa pada saat itu Umar Kayam tidak berkarya. Sebagian besar kolomnya yang setiap hari Selasa muncul di harian Kedaulatan Rakyat, Yogyakarta, ditulis dalam rentang waktu itu. Kolom-kolom itu kemudian dihimpun dan diterbitkan dalam tiga kumpulan, yaitu (1) Mangan Ora Mangan Kumpul (berisi 127 kolom yang terbit antara 12 Mei 1987 hingga 30 Januari 1990, Jakarta, Pustaka Utama Grafiti, 1995), (2) Sugih Tanpa Banda: Mangan Ora Mangan Kumpul 2 (berisi 113 kolom yang terbit antara 29 Januari 1991 hingga 4 Januari 1994, Jakarta, Pustaka Utama Grafiti, 1994), (3) Madhep Ngalor Sugih, Madhep Ngidul Sugih: Mangan Orang Mangan Kumpul 3 (berisi 115 kolom yang terbit antara 11 Januari 1994 hingga 31 Desember 1996, Jakarta, Pustaka Utama Grafiti, 1997).

Di samping menulis karya sastra dan kolom, Umar Kayam juga banyak menulis esai. Bukan hanya esai sastra dan esai tentang seni lainnya (teater dan film) yang ditulisnya, melainkan juga esai tentang kebudayaan. Sebagian esai kebudayaan itu dimuat dalam Seni, Tradisi, Masyarakat (Umar Kayam, 1981) dan Sejumlah Masalah Sastra (Satyagraha Hoerip [Editor], 1983).

Sebagai guru besar, Umar Kayam sebenarnya masih dapat bertugas sebagai pegawai negeri hingga berusia tujuh puluh tahun. Namun, hal itu tidak dilakukannya. Pada saat usianya mencapai 65 tahun, ia telah memutuskan untuk pensiun. Untuk menyambut hari pensiun Umar Kayam, pada pertengahan Juli 1997 di Universitas Gadjah Mada diselenggarakan seminar yang melibatkan ilmuwan, budayawan, dan seniman. Makalah-makalah mereka, yang sebagian besar berupa pembicaraan tentang Umar Kayam dan karya-karyanya, dihimpun oleh Aprianus Salam (Ed.) dalam satu kumpulan yang diberi judul Umar Kayam dan Jaring Semiotik (1998).