Stasiun

(1979)
Karya Sastra

Stasiun merupakan salah satu novel karya Putu Wijaya yang terbit pertama kali tahun 1979, di Jakarta oleh Penerbit Pustaka Jaya. Jumlah oplahnya lebih kurang 3.000 eksemplar. Novel ini memenangi Sayembara Mengarang Roman Dewan Kesenian Jakarta tahun 1975. Pada tahun 2012, novel ini diterbitkan oleh Metafor Publishing, Jakarta, dengan jilid dan kemasan baru berseri Maestro Sastra Modern.

Novel ini membawakan pembaharuan, terutama dalam teknik penyampaian. Dari segi teknik penyampaian, novel Stasiun merupakan restorasi terhadap bentuk-bentuk penceritaan dongeng. Restorasi menyarankan ungkapan dari keinginan dan kerinduan pada norma yang sudah hilang atau tidak berlaku lagi (Teeuw, 1982 dan 1984 dengan mengutip pendapat Jauss). Sebagai restorasi terhadap dongeng dalam novel Stasiun banyak hadir hal-hal yang tidak masuk akal manusia secara empiris. Hal itu dapat dikaitkan dengan penghadiran tokoh dalam dongeng yang selalu tidak masuk akal.

Konsepsi dongeng dalam hal ini tidak dilihat dari pengertian dongeng ansich, tetapi dikembalikan kepada konsep yang lebih luas, yaitu mitos. Dongeng (dalam arti mitos) adalah suatu hal yang sangat akrab dengan manusia. Dari segi bentuknya atau pola ceritanya, dongeng banyak mengandung unsur retorika sehingga penikmat selalu terpesona menikmatinya dari awal sampai akhir. Kekuatan seperti inilah yang dimanfaatkan pengarang novel (terutama novelis modern).

Novel Stasiun pada hakikatnya dapat dianggap sebagai penelanjangan manusia umumnya dan pembaca khususnya sampai sejelas-jelasnya dan sedalam-dalamnya. Di samping novel tersebut selalu meneror jiwa pembaca karena yang disampaikan adalah fakta mental manuisa, seperti halnya dongeng. Fakta mental itu adalah realitas dalam bentuk yang imajiner.

Tema novel Stasiun menyiratkan kesunyian dan perasaan keterasingan seorang tua yang merasa disihkan oleh masyarakatnya. Tema alienasi, tema kesunyian dan keterasingan adalah tema yang dominan dalam novel-novel nonkonvensional, seperti Ziarah karya Iwan Simatupang. Kesunyian dan perasaan tersisihkan adalah persoalan yang paling dominan dalam novel Stasiun dan permasalahan itu pula yang sering menjadi alasan tindak (motif) sang tokoh (si orang tua).

Ketidaklogisan mewarnai hampir seluruh isi cerita novel Stasiun. Akan tetapi, ketidaklogisan itu hadir bukan tanpa alasan. Keirasionalannya logis dan memiliki peranan tertentu pada integrasi makna keseluruhannovel itu. Novel ini tidak memiliki tokoh penting dengan identitas tertentu. Tokoh-tokoh tersebut hanya berperan sebagai tokoh dari sajak religius, halus dan terselubung…".

Sejak terbit pertama kali, novel ini memperoleh tanggapan cukup ramai dari khalayak. Mereka yang telah menanggapi, yaitu Tabir Sitepu dalam artikelnya yang berjudul "Atavisme dan restorasi dalam Novel Stasiun" yang dimuat dalam harian Suara Karya Minggu, tanggal 27 Maret 1988, Tahun 18, Nomor 864. selain itu, Ahamad Fahrawi dalam tulisannya yang berjudul "Membaca Stasiun Putu Wijaya" mengomentari cukup panjang lebar tentang novel itu.

Pada awal pemunculannya, novel Stasiun mendapat tanggapan dari para tokoh sastra, antara lain Sutan Takdir Alisjahbana dalam makalahnya yang berjudul "Sastra yang Bertanggung Jawab pada Permulaan Bangkitnya Kebudayaan Umat Manusia Baru", yang disajikan di Taman Ismail Marzuki pada tanggal 31 Maret 1982. Sutan Takdir Alisjahbana menyatakan bahwa Stasiun merupakan seni post modernisme yang diklasifikasikan sebagai titik yang terendah dan terdalam dari kejatuhan seni modernisme dalam akhir abad ini. Selanjutnya, STA menyatakan bahwa sastra zaman sekarang didominasi oleh individualisme, suatu genre sastra yang kata Takdir membuat sastrawan menjadi manusia terpencil, manusia yang hanya memikirkan pencurahan isi hatinya sendiri, sering berupa kedongkolan, kegondokan, atau frustasinya dan ketakutan dalam dunia yang penuh ancaman.

Pandangan Sutan Takdir Alisjahbana tentang Stasiun lahir sebagai tanggapan terhadap pandangan A. Teeuw sebelumnya, yang menyatakan bahwa novel Stasiun merupakan sebuah karya sastra yang mempunyai komitmen kemanusiaan, karya yang hadir sebagai cermin kemungkinan bagi generasi selanjutnya. Goenawan Mohamad dalam pembelaannya terhadap Stasiun menyatakan bahwa karya sastra tetap merupakan hasil kesenian dan mempunyai fungsi, yang mungkin memberi variasi lain dari kehidupan. Memberikan kesadaran, sentuhan, bahwa hidup ini pantas dijalani (Kompas, 6 Mei 1982). Jakob Sumardjo dalam esainya yang dimuat di Budaja Jaya, No. 133, Juni 1979 mengatakan bahwa novel Putu Wijaya Stasiun merupakan novel bawah sadar—novel yang menceritakan pengalaman manusia langsung pada sumbernya, yakni pikiran manusia itu sendiri—novel yang sebenarnya merupakan hasil pengaruh ilmu jiwa dalam Freud dan dikembangkan dalam sastra oleh James Joyce.