Seribu Kunang-Kunang di Manhattan

(1966/1967)
Karya Sastra

Seribu Kunang-Kunang Di Manhattan merupakan judul kumpulan cerpen Umar Kayam. Pada tahun 1972, kumpulan cerpen ini diterbitkan oleh Pustaka Jaya, Jakarta dan pada tahun 2003 diterbitkan oleh Grafiti Press, Jakarta.

Di dalam kumpulan cerpen itu termuat enam cerpen yang berlatar belakang Amerika. Judul itu merupakan salah satu judul cerpen Umar kayam yang kuat yang secara tematik mengikat keseluruhan cerpen yang terkumpul didalamnya.

Kumpulan cerpen ini memenangi hadiah tahunan majalah sastra Horison untuk masa 1966/1967. Kumpulan cerpen ini adalah karya Umar Kayam, seorang sastrawan yang menggeluti kisah cerita berlatar Jawa pada umumnya. Dalam kumpulan itu tertulis sejumlah cerita pendek, yakni "Seribu Kunang-kunang di Manhattan", "Istriku, Madame Schlitz dan Sang Raksasa", "Sibil", "Secangkir Kopi dan sepotong donat", "Chief Sitting Bull" dan "There Goes Tatum", dan cerpen terbaik dalam kumpulan itu adalah "Seribu Kunang-kunang di Manhattan". Cerpen ini mengisahkan citra masyarakat modern di Manhattan, di New York, Amerika. Ketika itu penulis memang bermukim di sana, sebagai pengamat sastra dan budaya. Iaia mencoba merekam situasi masyarakat ber modern di sana. Namun tampaknya, penulis sangat cermat, ia tidak semata-mata mencurahkan pengalaman yang didapat dalam cerpennya, melainkan perlu perenungan kembali dan membungkusnya dengan pengetahuan yang selama ini digelutinya.

Dalam tulisan Sunoto Surodibroto yang termuat pada Berita Buana 9 Juni 1985, tentang "Proses Penulisan Umar Kayam", ia bercerita tentang pengalamannya, yang berbunyi demikian:"Pada liburan musim panas tahun 1961 saya mulai menulis cerita-cerita saya tentang orang-orang kota New York. Cerita saya yang pertama adalah suatu cerpen (short story) yang diilhami oleh suatu perampasan tas seorang wanita oleh seorang pemuda Negro yang saya saksikan dari jarak yang agak jauh pada sebuah taman. Peristiwa itu sangat mengejutkan saya. Perampasan di siang hari bolong, di tengah keramaian kota dunia, kota dunia, di depan hidungku lagi!

Cerita kedua hingga yang ke enam semuanya berdasarkan kejadian yang sebenarnya di kota itu (Basis, Maret 1983). Wawasan dan renungan, kenangan, harapan, emosi, kecendikiaan, citra, dan penataan melingkupi pengalaman itu. Gunanto Sapari dalam Suara Karya, tanggal 17 Juli 1981 menyatakan bahwa dalam cerpen "Seribu Kunang-Kunang di Manhattan" kita menemukan bagaimana sepasang manusia modern, yaitu Marno dan Jane yang berdialog tentang berbagai hal. Terkesan pula bahwa kedua tokoh itu tampak kesepian. Sekalipun mereka tampak jatuh cinta, tapi ternyata cinta mereka tak mengusir kesepian itu satu situasi jiwa yang banyak menghinggapi manusia modern. Selain itu, Korrie Layun Rampan (dalam Pelita tanggal 8 Desember 1981) menjelaskan pula bahwa tokoh Marno dan Jane dalam cerpen "Kunang-Kunang di Manhattan" ini merupakan cerpen yang tidak bercerita, tetapi disajikan dalam bentuk suasana. Dua tokohnya masing-masing sibuk dengan dunianya sendiri-sendiri: Jane dengan dunia suami dan masa kanaknya, Marno dengan dunia "dusun"nya di Indonesia. Tetapi keduanya saling menyayangi, cerita lalu penuh dengan dialog, dengan sebuah suasana yang momentil. Menurut Korrie, bentuk cerpen seperti ini ketika itu masih baru di Indonesia. Menurut dia, cerpen di Indonesia selalu menyajikan tokoh dan peran tokoh sangat besar sekali, ia harus seorang hero, dan hebat sehingga kisah itu harus mengesankan, agar ia tidak menjadi dunia mistik. Pada Umar Kayam, tokoh-tokohnya adalah manusia nyata, ia lebih menekankan manusia yang serba terasing dan tergencet oleh suatu situasi dan suasana tertentu. Sifat keterasingan di dalam dunia yang ramai itu biasanya sifat manusia dalam kota dan masyarakat modern.Mereka saling egois dan bergelut dengan dunianya masing-masing.

Masih dalam pengamatan Korrie, "Suasana yang ditampilkan Umar Kayam benar-benar sinkronis dengan alam jiwa para pelakunya: Jane yang biasa bebas dalam gerak dan tindakan, dalam memenuhi apa yang diingini; karena itu ia bisa secara terbuka menyatakan apa yang terkandung dalam sanubarinya. Tetapi tidak demikian dengan Marno: ia lebih impresif, terkungkung oleh dunia kecilnya yang serba "tengang rasa", dan karena itu pula ia tidak mungkin menerima piyama yang disediakan Jane karena ia tidak mungkin pula memenuhi undangan Jane untuk nginap di situ. Unsur moral dan keagamaan yang mendarah daging pada sanubarinya membuat ia harus tidak menerima kemanisan yang disediakan Jane baginya; walau pada dasarnya mencintai Jane; menyukainya sebagai kekasih", kawan dalam kemelut batin dan kesepian jiwa. Tetapi bawah sadarnya membisiki bahwa ia harus bersih dan jujur. Tanpa mengingat keadaan Jane yang tampak kecewa atas perlakuan Marno.

Dialog-dialog antara Jane dan Marno mengesankan suatu keragu-raguan; kehampaan jiwa, kehampaan nilai-nilai spiritual; manusia tergencet oleh situasi kotayang serba kebetulan dan karenanya kering dari nilai-nilai rohani. Dialog itu dilakukan secara intensif; sehingga cerita berjalan dalam suasana, tanpa cerita yang sebenarnya, cerita menurut kaidah konvensional. Nah, di situlahlah uniknya cerita itu.

Jika diamati secara menyeluruh, kumpulan cerpen Umar Kayam ini membawa nuansa baru dalam khazanah kesusastraan Indonesia. Bentuk ceritanya yang mengalir secara indah memaparkan segi-segi yang hakiki dari suasana batin manusia secara universal. Latar New York yang benat-benar metropolis tidak saja sebagai latar yang mendekorkan cerita, tetapi tampil sebagai bagian jiwa cerita. Di mana manusia yang tidak saling menghiraukan satu sama lainnya tersua dalam "Istriku, Madame Schlitz, dan Sang Raksasa" yang merupakan efek metropolis yang selalu mendapatkan individu lainnya.

Cerpen "Seribu kunang-kunang di Manhattan" menyajikan kekosongan jiwa dari manusia metropolis. Mereka ingin kembali kepada impian-impian, tetapi justru pelarian kepada dunia romantis membuat mereka kian terpencil dan sendiri. Dan ini semua merupakan penyakit menusia modern.

Cerpen "Istriku, Madame Schlitz dan Sang Raksasa" mengisahkan efek metropolis yang selalu menempatkan individu di atas massa atau individu lainnya. Semua kegiatan harusbertujuan mendapat keuntungan bagi sang individu lainnya. Semua kegiatan harus bertujuan mendapat keuntungan bagi sang individu—baik langsung maupun tidak langsung—dalam setiap aktivitas. Masyarakat diharuskan mendukung individu untuk melontarkannya mencapai sesuiatu yang menjadi idaman atau hajat yang hendak diraihnya.

Cerpen "Sybil" menggambarkan suatu prototype keterasingan, dis harmoni dan ketiadaan kasih sayang. Uang saja tidak menjamin kehidupan dan terutama sikap kejiwaan an anak-anak.seorang anak harus dibentuk dari masa kanak-kanak. Lebih tepat, seorang anak biasanya mencontoh perbuatan orang tuanya. Selain iotu guru di sekolah merupakan pembentuk kedua. Keharmonisan dalam rumah tidak pernah diperoleh dari Sybil maupun Susan. Manusia menjadi bnatang ekonomi, mereka sebagai alat—seperti mesin—dan mereka tak memilih lain, kecuali menerima keadaan itu dengan ketulusan yang perih. Mereka tahu hal itu merusak, tetapi mereka tidak bisa mengelak, sebab hidup dan kehidupan menuntut demikian!

Cerpen "Setjangkir kopi dan sepotong donat" mengisahkan cerita tentang suasana Coffee-House sekitar pukul 10 pagi hari. Dalam kedai model Barat itu dikisahkan percintaan seorang gadis pelayan bar yang dicintai pemuda pengunjung tetap, ia mengirim tulisannya melalui tisyu dan menyatakan cintanya. Selain itu menanyakan ketidak hadiran gadis itu semalam membuat ia tidak bisa tidur. Suasana di Coffe-House semakin meriah, para pelanggan memesan kopi, donat, macaroon dan seterusnya. Suasana semakin meriah, namun gadis bernama Peggy itu senantiasa bersabar. Ia hanya berdiam menghadapi para pemuda yang bertingkah bermacam-macam. Ia kembali ke rumahnya setelah tugasnya selesai.

cerpen "Chitf Sitting Bull" mengisahkan dua orang jompo laki-laki dan perempuan yang bersahabat. Perilaku mereka mengulang siklus anak-anak mereka. usia yang semakin menua memaksa mereka untuk kembali ke masa lalu.

cerpen "There Goes Tatum" mengisahkan orang lain yang harus ditaklukkan di tengah belantara beton besi dan baja guna kelangsungan hidup sang individu. Di sini berlaku apa yang disebut Alfred Adler tentang sifat manusia yang mempertahankan diri; serta sifat mempertahankan jenis seperti yang dikatakan Sigmund Freud. Dalam suasana yang keras dan disharmoni semacam itu tingkat kemanusiaan menjadi merosot ke tingkat ikhwani; sementara manusia saling menjadi obyek untuk dieksploitasi. Jika dirangkum cerpen-cerpen Umar Kasyam terasa baru dalam khazanah kesusasteraan Indonesia. Bentuk ceritanya mengalir dalam suasana itu secara indah memaparkan segi-segi yang hakiki dari suasana batin manusia secara universal. Demikian pendapat Koorrie Layun Rampan dalam catatannya yang tersimpan di PDS H.B. Yassin.

Pada tahun 1999, Yayasan Obor Indonesia (YOI) pernah menerbitkan buku Seribu Kunang-Kunang di Manhattan yang berisi cerpen "Seribu Kunang-Kunang di Manhattan" dalam 13 bahasa daerah, di samping naskah aslinya yang berbahasa Indonesia. Tiga belas bahasa daerah tersebut adalah bahasa Aceh, Batak Toba, Minangkabau, Sunda, Cirebon, Jawa, Madura, Bali, Sasak, Bugis Makassar, Bugis, Toraja, dan Mandar.