Sandyakala Ning Madjapahit
(1932)"Sandyakala Ning Madjapahit" merupakan drama sejarah yang ditulis Sanusi Pane pada tahun 1930-an. Drama itu pertama kali dimuat dalam majalah Timbul Nomor 1--6, Tahun VII, 1932, dan Nomor 3—4Februari 1933. Setelah Sanusi Pane meninggal, di Jakarta, 2 Juni 1966 atas inisiatif Ajip Rosidi, tahun 1971 drama "Sandyakala Ning Madjapahit" itu diterbitkan kembali oleh Penerbit Pustaka Jaya, Jakarta, dalam bentuk buku. Untuk pertama kali, buku ini dicetak sebanyak tiga ribu eksemplar. Sandyakala Ning Madjapahit ternyata mendapat sambutan yang hangat di kalangan masyarakat sastra Indonesia. Sebagai buktinya pada tahun 1976 drama itu dicetak ulang dan dijadikan buku bacaan wajib bagi pelajar sekolah menengah umum di Indonesia sehingga dicetak sebanyak lima ribu eksemplar.
Drama Sandyakala Ning Madjapahit terdiri atas lima bagian atau lima babak. Penulisan drama ini berdasar pada cerita sejarah menjelang runtuhnya Kerajaan Majapahit, di Jawa Timur. Sumber cerita berasal dari buku-buku bahasa Jawa, seperti Serat Pararaton, Serat Kanda, Serat Damarwoelan, dan Babad Blambangan.
Para peneliti dan kritikus sastra yang pernah membahas drama Sandyakala Ning Majapahit antara lain Boen S. Oemarjati, sarjana Fakultas Sastra Universitas Indonesia, dalam tulisannya yang berjudul Bentuk Lakon dalam Sastra Indonesia pada tahun 1963. Boen membuat sinopsis dan membahas drama Sandyakala Ning Madjapahit secara panjang lebar dan secara kuantitatif. Pada akhir pembahasannya itu Boen menyimpulkan sebagai berikut. Sanusi Pane dalam drama ini hendak menunjukkan kepada kita bahwa kejayaan suatu kerajaan harus didukung oleh kejujuran dan keunggulan pribadi para pemimpinnya. Ratu Senapati yang jiwanya bersih dari angkara dan harta, yang hidup sesuai dengan zamannya, bisa menyelamatkan dan menegakkan kerajaan yang hampir runtuh. Akan tetapi, dengan disingkirkannya sama sekali elemen penyelamat dan pendukung satu-satunya, runtuhlah pula tiang-tiang kejayaan negara tersebut. Keagungan jiwa menjadi dasar penokohan. Damar Wulan dipertentangkan dengan tokoh-tokoh yang berjiwa kerdil dan murka, dengan menggunakan Dewi Suhita sebagai perantara eksekutif. Ia sebetulnya diperalat majelis kerajaan untuk mengesahkan tindakan-tindakan keji, justru karena ia sendiri tidak punya wibawa penentu. Sanusi Pane menggunakan dinamik perbuatan sebagai dasar penokohan.
Ajip Rodisi dalam bukunya Ikhtisar Sejarah Sastra Indonesia (1989) dan A. Teeuw dalam bukunya Sastra Baru Indonesia I (1980) mengaitkan hubungan antara drama Sandyakala Ning Majapahit dengan karya-karya romantis idealis sastra Pujangga Baru. Drama yang bersifat kepahlawanan itu mampu mendorong semangat perjuangan bangsa Indonesia dalam memerdekakan diri dari belenggu penjajah.
Jakob Soemardjo dalam bukunya Perkembangan Teater Modern dan Sastra Drama Indonesia (1992) mengatakan bahwa hampir seluruh sastra drama Pujangga Baru, termasuk Sandyakala Ning Majapahit karya Sanusi Pane, mengandung kemuraman pandangan, yakni tentang kehancuran dan kegagalan (Ken Arok, Kertajaya, dan Damar Wulan). Namun, di tengah penggambaran kehancuran dan runtuhnya suatu kekuasaan tersebut masih terselip secara samar-samar harapan akan terang yang baru. Rupanya drama ini ditulis sebagai penyalur rasa tertekan kaum intelektual oleh tindasan pemerintahan de Jong yang amat keras terhadap pergerakan sekitar tahun 1930-an. Sastra drama masa itu menyalurkan semangat nasionalisme dengan melahirkan eskapisme ke masa silam dan idiom lambang-lambangnya.
Sunu Wasono dalam bukunya Drama Indonesia Sebelum Perang (1989) mengatakan bahwa drama Sandyakala Ning Majapahit termasuk lakon yang bertemakan unsur sejarah. Tema yang demikian menggambarkan kehidupan masa silam, yakni masa ketika Majapahit menjelang runtuh. Yang hendak ditekankan dalam drama ini agaknya konflik-konflik para aparat kerajaan yang berakibat runtuhnya kerajaan. Tokoh-tokoh yang terlibat dalam konflik adalah Ratu, kaum bangsawan dan agamawan, serta Damar Wulan sebagai tertuduh dan sebagai tokoh sentral (tokoh utama). Pandangan-pandangan tokoh Damar Wulan mewakili pandangan Sanusi Pane dan iklim sosial budaya politik yang sedang "hangat" pada masa itu. Sunu Wasono (1989) mengategorikan drama Sandyakala Ning Majapahit sebagai drama sejarah karena ceritanya berdasar pada buku sejarah.
Puji Santosa (1991a, 1991b, dan 1993) berpendapat bahwa lakon Sandyakala Ning Majapahit merupakan simbol hancurnya peradaban lama dan bangkitnya peradaban baru. Hal itu ditandai dengan hancurnya Kerajaan Majapahit (sebagai simbol hancurnya pemerintahan kolonial Belanda) dan bangkitnya panji-panji keislaman di Kerajaan Bintara (simbol berdirinya negara Republik Indonesia). Gagasan Sanusi Pane yang disampaikan secara simbolis melalui karya drama itu disebabkan oleh penindasan zaman kolonial Belanda yang sangat kejam kepada bangsa jajahannya.