Rayani Sriwidodo
(1946—...)Penulis ini lahir di Kotanopan, Tapanuli Selatan, pada 6 November 1946, dari pasangan Hajah Siti Ebah Nasution dan Baginda Mulih Kadir Lubis. Rayani Lubis, yang punya hobi main catur ini, meniadakan marga di belakang nama begitu menikah dengan pelukis Sriwidodo tahun 1969, untuk seterusnya ia menambahkan nama suaminya di belakang namanya menjadi Rayani Sriwidodo. Sejak kelas dua Sekolah Rakyat (SD), novel karya Karl May, Hector Malot, dan Mark Twain sudah menjadi bacaannya. Pada usia empat belas tahun, cerpen pertamanya "Pentas yang Hampir Rubuh", dimuat dalam majalah Warta Dunia, yang terbit di Jakarta, yang hanya memuat cerpen dewasa. Sejak saat itulah , bidang sastra dan dunia tulis-menulis menjadi pilihan hidupnya. Pernah bekerja untuk majalah wanita Kartini.
Sajaknya berjudul "Senja Itu Aku Berpaling ke Halaman" memperoleh hadiah majalah sastra Horison tahun 1969. Kumpulan sajaknya Pada sebuah Lorong (1968) ditulisnya bersama T. Mulya Lubis ahli hukum terkemuka, merupakan teman sepermainannya semasa kecil di tempat kelahirannya. Tahun 1977/1978 mengikuti program penulisan internasional, yaitu International Writing Program di Universitas Iowa, Iowa City, AS, sambil memperoleh kesempatan mengunjungi White House dan museum-museum penting di beberapa kota di USA. Anggota beberapa organisasi internasional dan Rayani akan mengambil bagian sejauh programnya nonpolitik.
Kumpulan sajak lainnya, Pokok Murbai (1977), Percakapan Rumput (1983), Tragedi Sang Laron (t.t.), dan Percakapan Hawa dan Maria (1988). Kemudian sajak-sajaknya yang tersebar dalam berbagai majalah dikumpulan dalam antologi berjudul Balada Satu Kuntum (1994). Cerpen-cerpen Rayani Sriwidodo mengajak kita melatih kepekaan terhadap nilai-nilai yang melingkupi keseharian manusia. Kita diajak awas, waspada, dan arif menengok sisi-sisi kehidupan. Penokohannya sangat kental menonjolkan potret perempuan. Ada potret WTS, ibu yang melahirkan, pengalaman wanita pedagang, sampai naluri kewanitaan buruh wanita. Rayani Sriwidodo pun mengerjakan sebuah adaptasi lakon drama karya J.W. Gothe yang sudah klasik, yaitu Faust (PT Pustaka Karya Grafika Utama, 1988) menjadi bacaan remaja. Telah menerjemahkan dua novel cemerlang Andre Malrauz, yaitu Man's Fate 'Takdir Manusia' dan Royal Way 'Jalur Raja', di samping menerjemahkan beberapa naskah lakon (play) dalam Bahasa Inggris ke dalam bahasa Indonesia.
Sajak-sajaknya dimuat dalam majalah dan surat-surat kabar yang terbit di Medan dan Jakarta (antara lain Horison dan Budaja Djaja). Kegiatannya sebagai penyair menyebabkan namanya tercatat dalam Ensiklopedi Indonesia. Puisinya diterjemahkan ke dalam bahasa Belanda, Spanyol, dan Inggris. Pada usia 23 tahun mendapat Hadiah Horison bidang puisi. Ajip Rosidi menyertakan beberapa puisinya dalam antologi Laut Biru Langit Biru (Pustaka Jaya, 1977). Linus Suryadi memanfaatkan satu/dua puisinya untuk kumpulan Tonggak 2 (Gramedia, 1987).
Cerpennya yang berjudul "Balada Satu Kuntum" memenangkan hadiah kedua Nemis Prize dari pemerintah Chile tahun 1987. Kumpulan cerpennya Obsessi Manusiawi (t.t.) dan Bukan Arca (1981).
Sebagai penulis Rayani Sriwidodo pun mengerjakan cerita anak-anak serta menerjemahkan sejumlah karya asing. Dua novel anak-anak, Merpati Sayang dan Keretapun Terus Berlalu telah diangkat ke layar-kaca stasiun televisi swasta TPI. 15 skenario untuk dua serial TV, 21 novel anak/remaja yang diterbitkan 5 penerbit terkemuka sejak 1974—1984. Bersama penyair Isma Savitri, Rayani mengeditori buku antologi puisi berjudul Sembilan Kerlip Cermin: Antologi 9 Penyair (2000).
Karya prosanya dimuat dalam majalah, antara lain, adalah (1) Budaja Djaja No. 34/IV 1971: "Cacing yang Menggelepar dan Keong yang Melata"; (2) Horison No. 8/VI 1971: "Di Antara Beringin-beringin", Horison No. 4/XV 1980: "Suatu Hari dalam Hidup Pak Mulih", dan Horison No. 4/XVI 1981: "Bukan Arca"; dan (3) Lelaki No. 5/II 1978: "Antara Ombak dan Riak".
Karya puisinya juga dimuat dalam beberapa majalah, antara lain, adalah (1) Horison No. 5/IV 1969 : "Di liku gang, malam-malam", Horison No. 5/IV 1969: "Ketika itu remang pagi", Horison No. 5/IV 1969: "Lelaki itu turun di sebuah stasiun", Horison No. 5/IV 1969: "Senja itu aku berpaling ke halaman", Horison No. 2/V 1970 : "Di sehelai daun", Horison No. 2/IX 1974 : "Batukmu masih bergema", Horison No. 2/IX 1974: "Kudengar yang tidak mereka dengar", Horison No. 2/IX 1974: "Laut dan langit", Horison No. 2/IX 1974: "Menjulang engkau", Horison No. 2/IX 1974: "Sementara sepi", Horison No. 5/X 1975: "Akankah kutanya", Horison No. 5/X 1975: "Dari jendela-jendela gerbong", Horison No. 5/X 1975: "Kelak akupun jadi tua"; dan (2) Zaman No. 5/I 1979: "Daratkan sampanku ombak", dan Zaman No. /I 1979 "Tarian ular".