Pandji Poestaka
(1922—1945)Majalah Pandji Poestaka ini merupakan salah satu majalah umum yang diterbitkan oleh Balai Pustaka, Weltevreden Batavia, dalam bahasa Indonesia. Kehadiran majalah Pandji Poestaka dalam memuat karya sastra pada kurun waktu 1922—1945 amat penting sebagai penghidup dunia sastra di negeri kita ini. Di dalamnya termuat karya sastra dalam bentuk cerita bersambung, cerita pendek, puisi, dan kritik. Walaupun pada tahun pertama (1923) dan tahun kedua (1924) majalah tersebut berwujud sebagai majalah mingguan, kedudukannya sebagai majalah kebudayaan yang sasarannya orang-orang remaja dan dewasa serta fungsinya dalam menyebarkan karya sastra tidak dapat diabaikan.
Harga yang dipakai oleh pembeli majalah itu sama antara pembeli di tanah air dan pembeli di luar negeri. Di Indonesia (Hindia Belanda) harga berlangganan selama tiga bulah adalah f.2, harga majalah itu di Negeri Belanda adalah f.3.25, sedangkan harga majalah tersebut di luar negeri adalah f.4.
Pandji Poestaka memulai tahun pertamanya pada tanggal 4 Januari 1923 dengan didahului oleh edisi pemberitahuan yang terbit pada bulan November 1922. Mulai nomor 01 Tahun III, majalah Pandji Poestaka bukan lagi majalah mingguan, melainkan berubah menjadi majalah tengah-mingguan yang terbit pada setiap hari Selasa dan Jumat.
Redaksi majalah Pandji Poestaka adalah Balai Poestaka (dalam majalah tersebut dicantumkan demikian, tidak disebutkan nama-nama dewan redaksi majalah itu). Dengan redaksi Balai Poestaka itu, agaknya memang majalah Pandji Poestaka ini diterbitkan dengan tujuan yang sejalan dengan pendirian Balai Poestaka, yaitu menyediakan"bacaan-bacaan bermutu" untuk rakyat. Nama Pandji Poestaka itu sendiri telah menjadi semboyan yang memotivasi para pengelola majalah itu, yaitu "Balai Poestaka sebagai bendera pelbagai bacaan di Hindia Belanda ('pandji' berarti 'bendera' dan 'poestaka' berarti 'bacaan')".
Majalah Pandji Poestaka selama kurun waktu tersebut telah memuat dan menyebarkan karya sastra secara terus-menerus dengan membuka agen penjualannya pada kota-kota di seluruh Indonesia, seperti Samarinda, Gunung Sitoli (Nias), Dompo, Cirebon, dan Donggala. Banyaknya agen penjualan itu menunjukkan bahwa majalah tersebut sudah menjadi konsumsi masyarakat luas sehingga majalah ini hidup terus selama 23 tahun, dari awal November 1922 sampai dengan akhir Maret 1945. Seperti contoh selama kurun 1930—1939 saja telah terbit sebanyak 1.040 esisi majalah, yang tercakup dari majalah Nomor 01, Tahun VIII, 1930 sampai dengan Nomor 104, Tahun XVII, 1939.
Jenis rubrik yang ditampilkan dalam majalah Pandji Poestaka adalah rubrik yang bersifat umum, yaitu (1) kesehatan, (2) kronik, (3) feuilleton, (4) pemandangan di negeri loearan, (5) doenia istri, (6) tanja jawab kehakiman, (7) kabar perniagaan, dan (8) taman kanak-kanak. Karya sastra dimasukkan ke dalam rubrik "Feuilleton". Mulai edisi Maret 1932 majalah Pandji Poestaka menyajikan ruangan khusus dengan judul rubrik "Memadjukan Kesoesasteraan". Ruang tersebut langsung diasuh oleh Sutan Takdir Alisjahbana. Salah satu judul cerita pendek yang dimuat dalam majalah Pandji Poestaka adalah "Boeroeng Kaka Toea jang Masak Adjaran" yang ditulis oleh N. St. I. (mungkin Nur Sutan Iskandar) dalam Pandji Poestaka Nomor 28, Tahun VIII, 8 April 1930. Cerita bersambung ditulis juga oleh Nur Sutan Iskandar dengan judul "Keinsjafan Membawa Kemenangan" dalam Pandji Poestaka Nomor 05, Tahun XVI, 1938 sampai dengan Nomor 60, tahun XVI, 1938.
Pandji Poestaka juga mengiklankan beberapa karya sastra yang terbit pada saat itu. Beberapa karya sastra itu tercatat Salah Asoehan, Melawat Kebarat I, Tom Sawyer Anak Amerika, Orang dari Perantjis, Djeumpa Atjeh, dan Mentjari Djodoh. Dalam majalah Pandji Poestaka Tahun VIII, Nomor 31, 17 April 1930 termuat dua iklan untuk novel.
Artikel kritik (esai) yang dimuat dalam majalah Pandji Poestaka, antara lain, adalah I Serba-Serbi: "Beberapa Pertimbangan tentang Mengarang dalam Bahasa Melayu II", No.37, Th.IX, 6 Mei 1931 (Anonim); II Seri Karangan STA Memadjoekan Kesoesasteraan Baroe menampilkan: (1) "Kritik Kesoesasteraan", No.53 Th.X, 5 Juli 1932 (Anonim); (2) "Kiasan dalam Sjair (I)", No.96 Th.X, 29 November 1932 (S.T.A.); (3) "Kiasan dalam Sjair (II)", No.99 Th.X, 9 Desember 1932 (S.T.A.); (4) "Kiasan dalam Sjair (III)", No.103 Th.X, 23 Desember 1932 (S.T.A.); (5) "Perasaan dan Poeisi (IV)", No.104/105 Th.X, 30 Desember 1932 (S.T.A.); (6) "Perasaan dan Poeisi", No.4 Th.XI, 13 Januari 1933 (S.T.A.); (7) "Jang Disjair (VI)", No.13 Th.XI, 14 Februari 1933 (S.T.A.); (8) Prosa (VIII)", No.18 Th.XI, 3 Maret 1933 (S.T.A.); (9) "Gramatika dan Pengarang", No.24 Th.XI, 24 Maret 1933 (S.T.A.); (10) "Dichter Tjap Pandji Poestaka", No.43 Th.XI, 30 Mei 1933 (S.T.A.); (11) "Kepada Pembantoe (II)", No.81 Th.XI, 10 Oktober 1933 (S.T.A.); (12) "Sjair dan Rijm", No.88 Th.XI, 3 November 1933 (S.T.A.); dan(13) "Sekoempoelan Poeisi Baroe: Rindoe Dendam J.E. Tatengkeng", No.58 Th.XII, 20 Juli 1934 (S.T.A.); III Hindia: (1) "Minat kepada Seni", No.21 Th.XI, 14 Maret 1933 (Anonim); (2) "Kekoerangan Penoelis Kitab", No.94 Th.XI, 24 November 1933 (Anonim); IV "Tonil Baroe", No.42 Th.XII, 25 Mei 1934 (Anonim); V "Opera Dardanella", No.46 Th.XII, 8 Juni 1934 (Anonim); VII "Tonil Anak Negeri", No.93 Th.XIII, 22 November 1935 (Soeara Oem); VII Pidato Radio VORO: (1) "Sitti Noerbaja Karangan Marah Roesli sebagai Pemboeka Kesoesasteraan Baroe (I)", No.8 Th.XIV, 28 Januari 1936 (S.T.A.); (2) "Sitti Noerbaja Karangan Marah Roesli sebagai Pemboeka Kesoesasteraan Baroe (II)", No.9 Th.XIV, 31 Januari 1936 (S.T.A.); (3) "Salah Asoehan" (akan dibicarakan N. St. Iskandar melalui Radio VORO), No.29—30 Th.XIV, 11 April 1936 (Anonim); (4) "Salah Asoehan Karangan Abdoel Moeis (I)", No.33 Th.XVI, 24 April 1936 (N. St. Iskandar); (5) "Salah Asoehan Karangan Abdoel Moeis (II)", No.34 Th.XVI, 1 Mei 1936 (N. St. Iskandar); (6) "Kalau Ta' Oentoeng", No.103/104 Th.XIV, 20 Desember 1936 (A. Dt. Modjoindo); (7) "Tentang Doea Boeah Roman Hal Poelau Bali dan tentang Pengarangnja", No.27, Th.XV, 2 April 1936 (Armijn Pane); (8) SRI POESTAKA (lampiran Pandji Poestaka): "Djeumpa Atjeh" (Pidato Radio VORO), No.27 Th.XV, 2 April 1937 (A. Dt. Modjoindo); (9) "Dian jang Tak Koendjoeng Padam", No.60 Th.XV, 27 Juli 1937 (N. St. Iskandar); dan (10) "Sedikit tentang Sadjak Baroe", No.104, Th.XV, 28 Desember 1937.
Setelah terhenti penerbitannya selama lebih dari sebulan, pada tanggal 11 April 1942—jadi mendahului Asia Raja yang pertama kali terbit tanggal 29April 1942—Pandji Poestaka terbit kembali dengan nomor Tahun XX/No.1/11 April 2602 (1942). Majalah ini terbit sebagai majalah berkala mingguan, sama seperti penerbitan tahun-tahun sebelumnya. Kemudian, pada terbitan Pandji Poestaka, No.3, 25 April 1942, tertulis semacam isyarat berupa sepenggal puisi yang menyatakan bahwa Pandji Poestaka sekarang, sudah "menyesuaikan" dengan keadaan zaman. Berikut ini akan dikutip sebagiannya:
'Dahoeloe pembioes semangat
Sekarang gendang pembangoen rakjat
Pandji Poestaka
Boekan lagi semangat djadjahan, semangat
Tidoer anakkoe, tidoer.
Sekarang isinja bernafaskan:
Hidoep Asia Raja!
Seperti juga sebelum pérang, Pandji Poestaka diterbitkan oleh penerbit Balai Poestaka atau nama Jepangnya: Kokoemin Tosyokyoku.
Walaupun sifat majalah itu umum, dilihat dari berita atau artikel yang termuat di dalamnya, kekhasannya dalam rubrik kesusastraan masih kelihatan menonjol. Sementara itu, seperti juga majalah atau media massa lainnya pada zaman Jepang, Pandji Poestaka pun tidak dapat menghindarkan dirinya dari keinginan pihak pemerintah pendudukan Jepang untuk menyuarakan propaganda mengenai Asia Timur Raya atau peperangan dengan pihak Sekutu.
Sejumlah berita mengenai situasi sosial politik dalam dan luar negeri, hampir selalu berkaitan dengan misi propaganda pihak pemerintah pendudukan. Sementara itu, rubrik baru yang agaknya disodorkan pemerintah pendudukan Jepang adalah rubrik pelajaran bahasa Jepang. Bahwa dalam beberapa hal Pandji Poestaka 'menyesuaikan' dengan situasi dan kondisi zamannya dapatlah dianggap sebagai sesuatu yang wajar. Namun, kondisi dan situasi zaman itu pula yang di lain pihak membawa Pandji Poestaka mesti lebih memperhatikan bidang kebudayaan, kesenian, dan kesusastraan. Akibatnya, sebuah cerita pendek niscaya akan menghiasi lembaran-lembaran majalah itu, demikian juga halnya dengan puisi.
Dalam Pandji Poestaka, No.12, 20 Maret 1943, dimuat semacam pengumuman dengan judul "Beberapa Perobahan tentang Penerbitan Pandji Poestaka." Rupanya, untuk penerbitan selanjutnya, Pandji Poestaka yang semula terbit sebagai majalah mingguan, berubah menjadi dwimingguan. Jadi, sejak tanggal 1 April 1943, Pandji Poestaka berubah menjadi majalah dwimingguan. Masalah berkecamuknya peperangan di berbagai negeri yang berakibat sulitnya mendapatkan bahan baku kertas, menjadi alas an perubahan itu yang ternyata juga dialami oleh media massa yang lain.
Walaupun majalah ini merupakan majalah umum, cerita pendek, puisi, dan esai atau perbincangan mengenai karya sastra mendapat tempat baik. Secara kuantitatif, sejak penerbitannya yang pertama (11 April 1942) sampai majalah ini kembali berhenti penerbitannya (15 Maret 1945), jumlah cerita pendek yang pernah dimuat majalah ini ada 23 buah cerita pendek, lebih sedikit dari itu, esai atau artikel yang membicarakan karya sastra atau yang berhubungan dengan itu (berjumlah 20 buah), sedangkan puisi mencapai jumlah yang lebih dari dua kali jumlah itu. Dari ke-23 cerita pendek itu, satu di antaranya karya Nyi R. Hadidjah Machtoem, berjudul "Korban Ajah", ternyata dimuat secara bersambung dari Pandji Poestaka No.1, 2 Januari 1943 sampai Pandji Poestaka No.6, 6 Februari 1943 dengan enam kali pemuatan. Jadi, karya Hadidjah Machtoem ini, sebenarnya dapat dikaktakan sebagai cerita bersambung.
Pada waktu majalah Pandji Poestaka muncul, di Hindia Belanda memang telah banyak terbitan harian, mingguan, dan bulanan. Namun, para pengelola majalah itu bertekad untuk menerbitkan Pandji Poestaka dalam jangka panjang, dalam arti masa terbit majalah itu tidak hanya beberapa minggu atau beberapa bulan. Tekad para pengelola majalah Pandji Poestaka itu menjadi kenyataan: Pandji Poestaka berakhir terbit pada tahun 1945. Dengan demikian, majalah Pandji Poestaka selama masa terbitnya telah mengalami dua zaman, yaitu Zaman Pemerintahan Hindia Belanda dan Zaman Pendudukan Jepang.
Berakhirnya penerbitan majalah Pandji Poestaka disebabkan oleh situasi politik. Seperti diketahui, majalah ini pada mulanya diterbitkan sebagai pelaksanaan "politik etis" atau "politik balas jasa" Pemerintah Hindia Belanda yang telah menjajah dan menguras kekayaan alam Indonesia. "Politik balas jasa" itu diwujudkan dalam bentuk penyediaan "bacaan-bacaan bermutu" untuk rakyat di negeri jajahan.
Dari pemaparan di atas, tampak jelas bahwa majalah Pandji Poestaka pada zaman Jepang itu, juga tidak dapat melepaskan diri dari situasi zamannya. Majalah yang sebenarnya merupakan majalah umum itu pun, secara langsung ikut menggiatkan kesusastraan Indonesia.