Anak dan Kemenakan

(1976)
Karya Sastra

Anak Dan Kemenakan merupakan salah satu novel karya Marah Rusli yang diterbitkan oleh Balai Pustaka pada tahun 1956. Judul novel itu diambil dari salah satu subjudul yang terdapat dalam buku tersebut. Novel ini dicetak ulang pada tahun 2000 oleh Balai Pustaka dalam seri sastra nostalgia. Novel Anak dan Kemenakan bercerita tentang percintaan sepasang remaja, Mr. M. Yatim dan Puti Bidasari yang terhalang oleh norma adat dan perbedaan status sosial. Novel itu disajikan pengarang dalam tiga belas bagian dengan tiga belas subjudul. Ketiga belas subjudul itu adalah (1) "Kembali dari Barat", (2) "Perayaan Penyambutan Mr. M. Yatim", (3) "Usaha Baginda Mais", (4) "Mr. M. Yatim Bercerai dari Puti Bidasari", (5) "Hari Raya Idul Fitri", (6) "Perjudian Hari Raya", (7) "Pengadilan Perkara Mak Uning", (8) "Perkawinan Mr. M. Yatim dengan Siti Nurmala dan Puti Bidasari dengan Sutan Malik", (9) "Usaha Sahabat Karib", (10) "Sutan Ali Akbar", (11) "Tukang Pedati Malim Batuah", (12) "Mamak dan Kemanakan", dan (13) "Perkawinan Mr. M. Yatim dan Puti Bidasari".

Ada beberapa subjudul dari ketiga belas subjudul tersebut merupakan bagian yang seolah-olah terlepas dari jalinan cerita keseluruhan karena pumpunan cerita berada di luar inti cerita. Namun, subjudul-subjudul itu pada dasarnya merupakan bagian dari cerita yang masih memiliki benang merah dan mendukung inti cerita. Sementara itu, latar tempat cerita ini adalah kota Padang dengan latar sosial budaya masyarakat Minangkabau.

Di samping mengungkapkan persoalan cinta sepasang remaja, novel Anak dan Kemenakan juga berisi berbagai persoalan kemasyarakatan, yaitu masalah status kebangsawanan dan bagaiamana masyarakat memandang status kebangsawanan tersebut. Status kebangsawanan inilah yang menghalangi percintaan antara Mr. M. Yatim dan Puti Bidasari. Mr. M. Yatim adalah anak angkat Sutan Alam Syah yang meraih gelar master dalam bidang ilmu hukum dari negeri Belanda. Selepas belajar, Mr. M. Yatim kembali ke Padang dan bekerja sebagai jaksa.

Mr. M. Yatim menjalin cinta dengan Puti Bidasari, kemenakan Sutan Alam Syah. Akan tetapi, percintaan mereka ditentang oleh orang tua Bidasari, Puti Renosari dan Sutan Baheram Syah. Penentangan kedua orang tua Bidasari didasarkan atas perbedaan status kebangsawanan yang disandang oleh Mr. M. Yatim. Ia hanyalah seorang anak pungut yang tidak diketahui asal-usulnya. Sementara itu, orang tua Puti Bidasari menginginkan anaknya berjodoh dengan orang dari kalangan bangsawan.

Penolakan orang tua Bidasari sangat membahagiakan orang lain yang berminat mengambil Mr. M. Yatim menjadi menantunya. Baginda Mais, seorang saudagar kaya, sangat menginginkan Mr. M. Yatim menjadi menantunya. Penolakan Puti Renosari dan Sutan Baheram Syah merupakan peluang baginya untuk mendapatkan Mr. M. Yatim. Untuk mewujudkan keinginannya itu, Baginda Mais mendukung penolakan Puti Renosari dengan mengajukan Sutan Malik—seorang bangsawan—untuk jodoh Puti Bidasari. Baginda Mais sanggup menanggung semua biaya yang diperlukan untuk perkawinan Puti Bidasari. Setelah diombang-ambingkan oleh berbagai persoalan, akhirnya Mr. M. Yatim menikah dengan Puti Bidasari. Orang tua Bidasari mengizinkan pernikahan itu setelah mengetahui asal-usul Mr. M. Yatim. Mr. M. Yatim karena ternyata pemuda ini adalah seorang keturunan bangsawan yang terusir dari kampungnya.

Di samping mengungkapkan persoalan cinta dan status kebangsawanan, novel Anak dan Kemenakan juga menyuarakan pembaharuan terhadap pelaksanaan konsep adat. Persoalan penerapan konsep yang dipermasalahkan adalah keberpihakan seorang mamak terhadap kemenakan. Konsep adat "anak dipangku kemenakan dibimbing" tidak diterapkan semestinya oleh kebanyakan masyarakat. Dalam konsep adat itu termaktub suatu ketentuan untuk menyeimbangkan perhatian terhadap anak dan kemenakan. Namun, dalam pelaksanaannya, masyarakat lebih mengutamakan kemenakan sehingga tanggung jawab terhadap anak terabaikan.

Pembicaraan tentang novel itu antara lain pernah dilakukan oleh Lukman Ali dalam Unsur Adat Minangkabau dalam Sastra Indonesia 1922—1956 (1994), Harry G. Aveling dalam Siti Nurbaya: Some Consideration (BKI, 1970), Alberta Joy Freidus dalam Sumateran Contribution to the Development of Indonesian Literature 1920—1942 (1969), dan Bambang Trisman dalam bukunya Mamak dan Ninik Mamak dalam Dua Roman Indonesia Berwarna Lokal: Siti Nurbaya dan Anak dan Kemenakan Karya Marah Rusli (2006). Dalam buku Bambang Trisman (2006) dinyatakan bahwa penggambaran tokoh mamak dan ninik mamak dalam kedua novel (Sitti Nurbaya dan Anak dan Kemenakan) tersebut sangat berbeda dari konsep adat dan kebudayaan Minangkabau. Penggambaran yang berbeda tersebut disebabkan oleh berbagai faktor. Marah Rusli yang berasal dari wilayah pesisir (rantau) memiliki beberapa perbedaan dalam penerapan sistem adat dengan daerah Lohak Nan Tigo (Darat). Sitti Nurbaya dan Anak dan Kemenakan yang diterbitkan oleh Balai Pustaka memiliki beberapa klasifikasi dan kebijakan penerbitan karya sastra. Pada saat novel ini ditulis dan kemudian diterbitkan keberhasilan pendidikan dianggap sebagai salah satu pembangkit kesadaran generasi muda terhadap berbagai aspek sosial kemasyarakatan.