Aman Datuk Madjoindo

(1896—1969)
Pengarang

Aman Datuk Madjoindo adalah novelis dan pengarang cerita anak-anak yang terkenal. Dia lahir di Supayang, Solok, Sumatra Barat tahun 1896 dan meninggal di Surukan, Solok, Sumatra Barat tanggal 6 Desember 1969. Salah satu di antara ceritanya berjudul Si Doel Anak Betawi. Cerita ini pada tahun 1970-an diangkat ke layar putih oleh Sjumandjaja yang kemudian dijadikan dasar cerita sinetron pada dasawarsa 1990 di RCTI dengan judul "Si Dul Anak Sekolahan I—IV."

Berdasarkan keterangan dalam riwayat hidup yang ditulisnya, sejak 25 Februari 1947—8 September 1969, diperoleh informasi bahwa ia mempunyai seorang anak laki-laki dari perkawinannya yang pertama bernama Rusli. Karena ia bercerai dengan istrinya, anak itu dibawa istrinya ke Malaysia. Dari perkawinannya yang kedua, Aman mempunyai seorang anak perempuan yang bernama Sitti Damsiar yang memberinya cucu 10 orang.

Aman bersekolah di Inlandsche School 'Sekolah Bumiputera' tahun 1906—1911. Dia bercita-cita menjadi pengarang dan juga ingin menjadi redaktur dan penerjemah buku anak-anak ke dalam bahasa Melayu. Karena keinginannya itu, ia mengikuti kursus bahasa Belanda sore hari di Meester Cornelis (sekarang Jatinegara). Pada waktu mengikuti kursus itu, ia tinggal di rumah ibu Sarimun di Meester Cornelis agar dekat dengan tempat kursus jika ia pulang malam. Setelah lulus kursus, Aman diangkat sebagai redaktur, yang memberinya banyak kesempatan untuk menyadur, menerjemahkan, dan mengarang. Meskipun dia bekerja sampai malam, tetapi masih sempat melanjutkan kursus bahasa Belanda sampai mendapat Diploma Klein Ambtenaars Eeksammen 'ujian pegawai rendah' dan melanjutkan lagi ke Breuscursus.

Aman menjadi guru di Solok tahun 1912—1914 dan guru Kelas II di Sulit Air, Padang tahun 1914—1919. Tahun 1919 Aman merantau ke Jakarta dan bekerja di toko buku. Akan tetapi, karena suatu hal, ia keluar dan bekerja di Tanjung Priuk, sebagai kuli.

Tahun 1920, Aman bekerja di Balai Pustaka yang pada waktu itu masih bersatu dengan Kunstring 'kesenian' di Gondangdia Lama bersama dengan Nur Sutan Iskandar sebagai Maleische Redactuur 'Redaksi Bahasa Melayu'. Dia berkenalan dengan staf redaksi yang lain, seperti Tulis Sutan Sati, Sutan Muhammad Zein, dan Sutan Pamuntjak yang menurutnya banyak mempunyai andil dalam perjalanan kariernya sebagai pengarang. Aman mengakhiri tugasnya di Balai Pustaka tanggal 30 Juni 1958. Akan tetapi, keesokan harinya ia mulai bekerja di Penerbit Djambatan yang dipimpin oleh Sutan Pamuntjak.

Aman Datuk Madjoindo adalah karyawan yang rajin, tetapi kurang memperhatikan kesehatan. Sebagai akibatnya, ia sakit paru-paru dan harus dirawat di Sanatorium Cisarua, Bogor. Tahun 1927 ia mengambil cuti istirahat di Solok, kampung halamannya yang secara kebetulan mempunyai kesejukan udara yang sama dengan Cisarua. Akan tetapi di Solok pun ia tetap tidak dapat beristirahat, sehingga ketika ia habis masa cutinya, baru mulai bekerja lagi, beberapa bulan kemudian ia jatuh sakit, dan harus dirawat kembali di Sanatorium Cisarua.

Karena terdorong oleh keinginannya mengisi majalah mingguan Pandji Poestaka, setelah keluar dari Sanatorium Cisarua, ia mengarang cerita anak-anak dengan tema, anak betawi asli yang tidak mau bersekolah dan hanya mengaji saja. Dalam cerita tersebut digambarkan anak-anak Betawi yang hanya mengaji, tertinggal dari anak-anak luar Betawi. Cerita anak Betawi tersebut kemudian diberi judul Si Doel Anak Betawi yang ditulis selama tiga bulan dengan menggunakan dialek Betawi. Dalam pendahuluan buku cerita tersebut, dia memberi alasan digunakannya dialek Betawi yaitu, untuk memperkenalkan dialek Betawi kepada orang luar Betawi baik di Jakarta maupun luar Jakarta. Dialek itu muncul terutama pada saat perjodohan dan perkawinan. Aman melanjutkan cerita Si Doel Anak Betawi yang kemudian menjadi Si Doel Anak Djakarta dengan judul Perboeatan Doekoen (Si Doel Anak Sekolahan II)..

Menurut Aman, dalam berkarya ia dibimbing dan didorong oleh Sutan Pamuntjak. Mula-mula ia mencoba menulis tentang anak-anak di kampungnya dengan kehidupan yang sangat dikenalnya, seperti menggembalakan kerbau, bermain layang-layang, mengaji dan tidur di surau, belajar di sekolah, dan berkelahi. Dia menyukai cerita Tom Sowyer dari Amerika sehingga banyak menimba pengetahuan dari cerita itu. Pengalaman awal dia menulis cerita anak, tokoh utamanya adalah dirinya ketika masih kecil dengan nama Mustapa. Cerita itu diterbitkan dengan judul Anak Desa. Pada cetakan berikutnya judulnya diubah menjadi Tjita-tjita Moestapa karena harus menyesuaikan judul dan isi. Tahun 1935 di negeri Belanda buku ini diterjemahkan ke dalam bahasa Belanda dengan judul Desa Jongen.

Perhatiannya terhadap cerita anak-anak sangat besar. Banyak karya ditulis oleh Aman, misalnya cerita Srigoenting yang melukiskan keberanian dan semangat pahlawan dalam dada anak-anak untuk membela keadilan, seperti burung srigunting. Selain menumbuhkan semangat anak-anak, ia juga ingin memberi hiburan dan mengasah keterampilan berpikir, misalnya, dalam karyanya yang berjudul Pak Djanggoet dan Boedjang Bingoeng. Dalam buku Apakah Itu 300 Teka-teki?, dikatakan bahwa teka-teki itu merupakan permainan yang menggembirakan pada waktu anak-anak berkumpul dan beristirahat. Dalam pendahuluan buku itu diceritakan bahwa di kampungnya anak yang berusia enam atau tujuh tahun tidak diperbolehkan tidur di rumah. Mereka harus mengaji dan tidur di surau sambil bermain teka-teki. Teka-teki itulah yang dikumpulkannya dan diterbitkan menjadi sebuah buku. Buku cerita anak yang lain berjudul Koentoem Melati dan Poetri Larangan.

Karangan yang ditulisnya umumnya merupakan hasil renungan dari kehidupan yang dilihatnya. Buku Sebabnja Rafiah Tersesat merupakan hasil renungannya melihat kehidupan buruh di kota besar. Kesukaran hidup dan nasib yang dipermainkan oleh orang yang kaya dan berkuasa, menumbuhkan inspirasi bagi Aman untuk menulis novel itu. Dalam novel itu ia berusaha menunjukkan jalan keluar, mengatasi kesulitan dalam kehidupan mereka.

Ketika berada di daerah Puncak selama tiga bulan di perkebunan teh, Aman banyak melihat kemesuman tuan-tuan Belanda terhadap wanita. Dia melihat rentetan peristiwa yang menyiksa batinnya dan menggugahnya untuk menulis novel Menebus Dosa. Dalam buku Si Tjebol Rindoekan Boelan Aman berkisah tentang seorang suku Nias yang hendak bermenantukan bangsawan Padang. Cerita itu menyiratkan bahwa keinginan itu harus sesuai dengan kemampuan.

Aman mempunyai rasa kebangsaan sangat tinggi. Dia bercita-cita untuk membangkitkan rasa persatuan lewat perkawinan antarsuku. Pikirannya itu diwujudkan dalam karyanya yang berjudul Roesmaladewi, yang menceritakan perkawinan Jawa dan Andalas (Sumatra). Buku itu ditulisnya bersama dengan Soejono Hardjosoemarto. Buku-bukunya yang lain ialah Sampaikan Salamku kepadanja dan Njingkirkeun Rurubed yang diterjemahkan oleh Marga Soelaksana.

Selain sebagai pengarang, Aman juga bekerja sebagai penerjemah. Buku Kembar Enam adalah terjemahan Aman bersama Sutan Pamuntjak dari buku karya John Kieviet. Terjemahan buku Setangkai Daun Surga berasal dari karya buku Cor Bruijn. Ia juga menyukai karya-karya Kipling, pengarang cerita anak dari Inggris, dan Johan Buss, pengarang Belanda.

Selain menerjemahkan cerita anak, ia juga sering menyadur dan mengumpulkan cerita klasik Minangkabau tentang berkasih sayang yang diketahui oleh orang luar daerahnya, yang diungkapkan dalam buku Tjerita Malin Deman dan Poetri Boengsoe. Buku Goel Bakawali berupa prosa lirik yang berasal dari tanah Hindu, tetapi yang disadur oleh Aman ialah yang berasal dari Perancis berjudul La Rose de Bakawali. Saduran lain ialah Cindur Mata dan Tambo Minangkabau dan Adatnya yang dikerjakan bersama Ahmad Dt. Batuah. Buku Sjair Silindoeng Delima disadurnya berdasarkan cerita Asscheoeter, sedangkan Sjair Anis Aldjalis disadurnya dari cerita Seriboe Satoe Malam. Begitu juga Sjair Siti Noeriah Memboenoeh Diri disadurnya berdasarkan cerita lama dan diterbitkan Balai Pustaka tahun 1934. Kumpulan cerita Tjempa Biroe, Pantja Warna, Djentaju dan Seroeling diambil Aman dari "Taman Kanak-Kanak". Karya sadurannya yang lain berjudul Hang Toeah, Poetri Rimba Larangan, Sedjarah Melayoe, dan Hikajat Lima Toemenggoeng. Pepatah dan Peribahasa yang ditulis oleh Aman, antara lain, adalah (1) 500 Pepatah untuk Anak-Anak. 1961. Jakarta: Balai Pustaka, (2) Pepatah untuk Anak-Anak. 1961. Jakarta: Balai Pustaka, dan (3) Peribahasa. 1961 dan 1983. Jakarta: Balai Pustaka.