A. Damhoeri
(1915—2000)A. Damhoeri yang dikenal sebagai pengarang novel Mentjari Djodoh (1935) dan Depok Anak Pagai (1935) dilahirkan di Desa Batu Payung, Kecamatan Perwakilan Sago Halaban, Kabupaten Lima Puluh Kota, Payakumbuh, Sumatra Barat, pada 31 Agustus 1915 dan meninggal 6 Oktober 2000.
Nama lengkap pengarang ini adalah Ahmad Damhoeri. Di dalam karyanya ia selalu menyingkat namanya menjadi A. Damhoeri. Dia tidak mau dipanggil dengan sebutan si Ahmad (di Minangkabau nama Ahmad kadang-kadang bisa berubah menjadi Amaik). Nama panggilan sehari-harinya adalah Adam. Ada yang memanggilnya Bung Adam, ada pula yang memanggil Pak Adam. Karena di daerahnya nama A. Damhoeri sangat banyak, khusus untuknya ditambahkan kata pengarang. Jadi, ia dipanggil dengan sebutan A. Damhoeri Pengarang.
Damhoeri termasuk salah seorang pengarang tiga zaman, yakni zaman penjajahan Belanda, zaman penjajahan Jepang, dan zaman kemerdekaan. Pada masa penjajahan Belanda, Damhoeri pernah menggunakan nama samaran, yaitu Aria Diningrat. Sehubungan dengan nama samaran itu, ada kisah tersendiri yang menyeret Damhoeri ke penjara. Damhoeri menulis karangan yang berjudul "Timur Tanah Airku" yang dikirimnya ke harian Persamaan, Padang. Damhoeri meminta agar redaksi harian itu menuliskan nama samarannya. Akan tetapi, dalam tulisannya itu ternyata yang tertera adalah nama aslinya, bukan nama samarannya. Tulisan Damhoeri itu dianggap menentang pemerintah yang sedang berkuasa sehingga dikategorikan sebagai kejahatan melalui pers (pers delict). Oleh karena itu, Damhoeri dan pemimpin harian itu diajukan ke pengadilan dan mereka dijatuhi hukuman penjara selama empat bulan. Walaupun demikian, ia terus menulis setelah keluar dari penjara.
Pada masa penjajahan Jepang, Damhoeri menetap di desa kelahirannya, Batu Payung. Meski inspirasi untuk menulis tidak ada, sekali-sekali tulisannya masih muncul juga di harian Sumatra Shimbun (Medan) dan harian Padang Nippon (Padang).
Selama perang kemerdekaan dan masa Agresi II, A. Damhoeri ikut bergerilya di Payakumbuh Selatan. Mula-mula ia aktif dalam barisan Penerangan Mobil Kewedanaan Militer Payakumbuh Selatan kemudian ia menjadi staf Wedana Militer Mahinuddin Hs. Pengalaman di masa gerilya ini direfleksikannya dalam novel Dari Gunung ke Gunung yang diterbitkan oleh penerbit Saiful, Medan, tahun 1950.
Dari segi ekonomi Damhoeri termasuk keluarga yang tidak kaya. Oleh karena itu, ia berusaha keras meningkatkan taraf hidupnya. Menulis bukan satu-satunya ladang tempat mencari nafkah. Damhoeri mempunyai pekerjaan tetap sebagai pegawai negeri di Kantor Dinas Kebudayaan Daerah I Kota Payakumbuh. Lama-kelamaan kehidupannya berubah menuju perbaikan, terutama setelah beberapa karyanya dipesan oleh Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Jakarta, dalam rangka paket pengadaan buku Inpres (Instruksi Presiden).
Damhoeri mengawali pendidikannya di Sekolah Gubernemen Kelas Dua Bangkinang (Sumatra) dan tamat tahun 1928. Sekolah Gubernemen itu terkenal dengan nama Jongen Vervolgschool, lamanya dua tahun dan merupakan lanjutan dari sekolah desa yang lamanya tiga tahun. Damhoeri melanjutkan pendidikannya ke sekolah normal di Padang Panjang dan pendidikan tersebut diselesaikannya tahun 1934. Setelah itu, ia belajar berbagai ilmu (sastra, agama, dan lain-lain) secara autodidak.
Karier Damhoeri di dunia pendidikan berawal dari guru sekolah desa pada tahun 1934—1936. Kemudian, ia mengajar di Sekolah Gemeente, Medan, tahun 1938—1940. Pada tahun 1940--1942 Damhoeri mengajar di HIS Medest, Medan. Pada tahun 1943--1946 Damhoeri mengajar di Sekolah Sambungan Payakumbuh. Dalam dunia pendidikan yang digelutinya lama-kelamaan kariernya pun makin meningkat, dari guru menjadi kepala sekolah desa. Dia menjadi kepala sekolah di Sitanang (Payakumbuh), Salibawan, dan Danau Bengkuang pada tahun 1947—1956.
Pada tahun 1956--1958 Damhoeri menjabat Kepala Seksi Kesenian Perwakilan Daerah Kebudayaan Sumatra Tengah, Bukittinggi. Dari Bukittinggi Damhoeri pindah ke Padang menjabat Kepala Seksi Kesenian Inspeksi Daerah Kebudayaan Sumatra Barat, pada tahun 1960—1963. Pada tahun 1964—1971 Damhoeri menjabat Kepala Dinas Kebudayaan Daerah I Kota Payakumbuh sampai pensiun.
Kariernya di bidang tulis-menulis berawal dari menulis di majalah Pandji Poestaka rubrik "Taman Kanak-Kanak". Damhoeri mulai menulis di majalah itu tanggal 27 November 1931. Tahun 1932—1934 Damhoeri membantu majalah Pandji Poestaka untuk mengisi rubrik "Memadjoekan Doenia Kesoesastraan". Dia ikut mendirikan majalah Doenia Pengalaman pada tahun 1938—1939 di Medan dengan kedudukan sebagai anggota redaksi.
Novel Damhoeri yang pertama, Mentjari Djodoh, diterbitkan oleh Balai Pustaka pada tahun 1935. Novel tersebut laris di pasaran sehingga dicetak ulang beberapa kali. Pada masa-masa selanjutnya Damhoeri tidak hanya menulis novel, tetapi juga menulis cerita pendek, cerita anak, puisi, esai, dan buku pelajaran. Bahkan, ia pernah menulis teka-teki sewaktu mengasuh ruang "Kesusastraan" di majalah Pandji Poestaka.
Cerpen karya A. Damhoeri antara lain adalah (1) "Lebai yang Sial" dalam Pandji Poestaka No. 11—12 Tahun ke-10. (1932): 166—168, (2) "Redakteur Chilaf, Medewerker Djadi Mempelai" dalam Pandji Islam No. 13 Tahun ke-5 (1938: 305—306), (3) "Sepaham Sependirian" dalam Pandji Islam No. 4 Tahun ke-5 (1938: 33—95), (4) "Rendang Padang" dalam Pandji Islam No. 43—44 Tahun ke-8 (1941: 836—839), (5) "Djalan Belakang" dalam Waktu No. 19 Tahun ke-9 (1955: 36—37), dan (6) "Latifa" dalam Waktu No. 26 Tahun ke-9 (1955: 36—38).
Cerita bersambungnya antara lain (1) "Ratu dari Pulau Mentawai" dalam Pandji Islam No. 10—28 Tahun ke-8 (1941) dan "Sahabat Sedjati" dalam Pandji Poestaka tanggal 6, 13, 20, dan 27 Oktober 1933.
Puisinya antara lain (1) "Di Pekuburan" dalam Pandji Poestaka No. 83 Tahun ke-11 (1933: 1299), (2) "Ingin Beta hendak ke Sana" dalam Pandji Poestaka No. 6 Tahun ke-11 (1933: 246), (3) "Terkenangkan Bunda" dalam Pandji Poestaka No. 93 Tahun ke-11 (1933: 1460), (4) "Bedaja" dalam Pandji Poestaka 13 Januari 1933, (5) "Kendiri" dalam Poedjangga Baroe No. 12 Tahun ke-1 (1934: 371).
Novelnya antara lain adalah (1) Depok Anak Pagai, 1935 dan 1965 (cetakan IV). Jakarta: NV. Nusantara, (2) Dari Gunung ke Gunung, 1950, Medan: Saiful, (3) Kurir, 1950, Medan: Tjerdas, (4) Terompah Usang jang Tak Sudah Didjahit, 1953. Jakarta: Balai Pustaka, (5) Mentjari Djodoh, 1962 (cetakan IV), Jakarta: Nusantara, (6) Telaga Darah.1964. Payakumbuh: Eleonora, (7) Rahasia dalam Surau (Raja Katak Mengamuk) 1968: Kuala Lumpur: Pustaka Antara, (8) Si Loreng dari Rimba Mangkisi, 1989, Jakarta: Balai Pustaka, (9) Hoelobalang Teungkoe Oemar, 1939, Balai Pustaka.
Karya esainya antara lain adalah (1) "Penerbitan Inpres: Dampak Positifnya terhadap Penerbit dan Pengarang", Singgalang, 19 Oktober 1985, dan (2) "Efek Penerbitan Inpres pada Penerbit", Singgalang, 21 Oktober 1985, (3) Menempuh Jalan Buntu: Masalah 2820 dari PN Balai Pustaka, 1980, Balai Pustaka.
Damhoeri memasuki Organisasi Pengarang Indonesia (OPI). Tahun 1946 ia menjadi anggota Sidang Pengarang, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan di Bukittinggi. Atas jasanya di bidang sastra, ia menerima piagam penghargaan dari Pemerintah Provinsi Sumatra Barat dan piagam dari Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Fuad Hassan. Tahun 2011 Pemerintah Kabupaten Limapuluh Kota memberikan piagam penghargaan dan sebuah lukisan, gambar profil A. Damhoeri, karya El Sanari Novia kepada ahli warisnya. Bahkan, sang bupati, yaitu Alia Maradjo, menyempatkan diri untuk berziarah ke makam A. Damhoeri (Moenir, 2011).
Damhoeri termasuk pengarang tahun 1930—1940. Teeuw menempatkan Damhoeri sebagai pengarang roman picisan. Jassin menyatakan banyak karya (cerpen) Damhoeri yang baik, dan Jakob Sumarjo berpendapat bahwa novelnya, Depok Anak Pagai, sarat dengan informasi sosiologis.