Waspada

(1947—...)
Media Penyebar/Penerbit Sastra

Harian Waspada didirikan di Medan oleh Mohammad Said dan istrinya, Ani Idrus. Pada saat itu Mohammad Said merasa tergugah untuk menerbitkan surat kabar lalu tumbuh niat di hatinya, apabila penerbitan surat kabar itu terwujud, ia akan memberi nama Waspada. Pemberian nama Waspada dilatarbelakangi oleh sikapnya yang selalu menganjurkan kepada kaum bapak dan semua orang agar senantiasa waspada dalam menghadapi berbagai kemungkinan yang akan terjadi dalam perjuangan menghadapi Belanda sebab kekurangwaspadaan akan membuat kita mengalami kerugian yang lebih banyak lagi. Ternyata Tuhan mengabulkan niatnya. Waspada pun terbit pada hari Sabtu, 11 Januari 1947. Ketika itu kota Medan yang masih berpenduduk 300.000 jiwa tampak sepi sekali. Hal ini disebabkan oleh keadaan yang secara de fakto kota Medan baru lebih kurang sebulan ditimbangterimakan Inggris pada pasukan Belanda.

Pada nomor perdana, Waspada terbit hanya berukuran setengah lembar (dua halaman). Penerbitan nomor kedua hari Senin, (karena hari Minggu libur) terpaksa dipadatkan, di halaman sebaliknya hanya terpampang maklumat. Pada saat itu penyusun huruf (zetter) tidak dapat keluar rumah sebagai akibat pertempuran sepanjang hari Minggu dan malamnya. Oplah Waspada untuk nomor kedua ini hanya 275—300 eksemplar dan dikerjakan seadanya saja. Para karyawan golongan grafika ini pada umumnya menempatkan diri menjadi pejuang. Waspada nomor ketiga ini tidak dapat diterbitkan kembali dalam dua halaman penuh karena sebagian besar karyawan percetakannya turut mengungsi.

Pada tanggal 21 Juli 1947, pukul 00.00, pintu kediaman Mohammad Said yang sekaligus dijadikan sebagai kantor Waspada, tiba-tiba didobrak pasukan Belanda. Seisi rumah digeledah. Di bawah todongan pistol, para penghuni rumah dikumpulkan di suatu kamar yang sempit. Pada pukul 12.00 mereka dikeluarkan dari kamar yang sempit itu dan digelandang ke rumah Walikota Mohammad Yusuf untuk dijadikan tawanan. Akibat pecahnya peristiwa agresi pertama, 21—27 Juli 1947 serta merta Waspada tidak dapat terbit.

Setelah agresi pertama, hubungan daerah dengan Jakarta (termasuk pos) mulai terbuka. Waspada pun mendapat kiriman berita dari Jakarta, yakni dari Merdeka dan Berita Indonesia. Setelah persiapan rampung, Waspada terbit kembali tanggal 27 Juli 1947. Namun, baru beberapa nomor terbit, Dr. Van der Velde (penasihat pemerintah Belanda untuk Indonesia) memanggil Mohammad Said sekaligus menyerahkan surat perintah yang menyatakan bahwa Waspada dilarang terbit. Menurut Dr. Van der Velde pemberedelan itu bukan dilatarbelakangi oleh pemuatan berita yang dikutip dari Berita Indonesia 1 Agustus 1947 tentang serdadu Belanda yang membakar rumah penduduk Jawa Barat, tetapi karena tajuk-tajuk Waspada sangat ultrarepublikein. Ia mengartikan seolah-olah pembaca didesak oleh Waspada untuk berpendapat bahwa hanya Republik benar dan Belanda salah.

Selanjutnya, berulang-ulang Mohammad Said datang menuntut supaya pemberedelan dibuka dengan alasan bahwa Belanda adalah anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Ketika Mohammad Said menggertak akan mengirimkan telegram ke Lake Success (markas besar Dewan Keamanan PBB), van der Valde menjawab akan memutuskan minggu depan. Namun, setelah seminggu van der Valde tak juga datang, diam-diam Mohammad Said menerbitkan kembali Waspada pada tanggal 9 Agustus 1947. Beberapa waktu kemudian, sekitar pukul 18.00 tanggal 23 Juli 1948, serombongan tentara Belanda yang berjumlah 15 orang, tiba-tiba mengepung kompleks sekitar kantor Waspada di Pusat Pasar 126. Seorang perwira, pimpinan rombongan itu, menyerahkan secarik surat keputusan Komandan Teritorial Belanda di Sumatra Utara yang ditandatangani oleh Mayor Jenderal P. Scholten pada tanggal 4 Desember 1947 berisi pemberitahuan bahwa Waspada diberedel selama 14 hari. Bersamaan dengan pemberedelan Waspada, surat keputusan itu juga menyatakan larangan terhadap percetakan Sjarikat Tapanuli untuk beraktivitas dalam cetak-mencetak. Oleh karena itu, Belanda mengharapkan mesin-mesin cetak dan Intertype supaya tidak dapat dipergunakan selama masa pemberedelan tersebut. Meski dalam surat keputusan itu tidak disebutkan alasan terjadinya pemberedelan, kantor berita Belanda, Aneta, melaporkan bahwa penyebab pemberedelan Waspada untuk kedua kalinya ini adalah karena pemuatan berita tertanggal 15 Juli 1948, yaitu ada 16 orang perwira Kon. Leger di Garut yang dikebumikan, yang ditulis oleh Rosihan Anwar (juruwarta Waspada di Jakarta).

Setelah sempat terbit beberapa waktu, Waspada kembali mengalami pemberedelan untuk ketiga kalinya. Pemberedelan kali ini bukan berasal dari militer, melainkan dari seorang asisten residen bernama E. Luuring. Ternyata pada masa itu, setiap pembesar sipil dan militer Belanda berwenang untuk memberedel surat kabar. Surat Pemberedelan tertanggal 19 Agustus 1948 tersebut melarang Waspada terbit selama satu bulan. Waspada terbit kembali pada hari Senin, 20 September 1948.

Pemberedelan terakhir atau keempat kalinya pada masa revolusi—terhadap Waspada— terjadi pada Sabtu, 2 April 1949. Waspada diberedel selama sebulan karena sengaja memblack-out (tidak memberitakan) kegiatan konferensi Sumatra yang didukung Belanda. Pemberedelan ini ternyata ditentang keras oleh parlemen Belanda. Tidak lama setelah penyerahan kedaulatan (Mei 1950), Waspada kembali tidak terbit, tetapi kali ini disebabkan oleh pemogokan di percetakan Belanda NV De DeliCaurant, tempat Waspada dicetak.

Beberapa waktu berlalu, kepemimpinan di tubuh Waspada mengalami suksesi. Sekitar September 1964, pemimpin Umum dan percetakan Waspada diserahkan kepada Tribuana Said, putra sulung Mohammad Said dan Ani Idrus. Penampilan Tribuana Said yang simpatik membuat banyak pemimpin surat kabar terbitan Medan menunjuknya menjadi ketua Badan Pendukung Soekarnoisme (BPS) cabang Medan. Namun, ternyata pengaruh Partai Komunis Indonesia (PKI) terhadap Soekarno pada masa itu, sudah cukup mendalam. BPS yang dengan ikhlas dan serius bertujuan menyelamatkan Bung Karno dari kesesatannya, ternyata oleh Bung Karno malah dianggap hendak merongrongnya. Walhasil, tanggal 17 Desember 1964, Bung Karno mengeluarkan keputusan No.72/KOTI/1964 tentang pembubaran dan pelarangan BPS, disusul kemudian pada tanggal 23 Februari 1965 dengan keputusan Menteri Penerangan Achmadi No.17/SK/M/65 tentang pemberedelan 21 surat kabar yang turut dalam BPS termasuk Waspada.

Namun, pada tanggal 17 Agustus 1967 Waspada mulai terbit kembali dipimpin oleh Mohammad Said. Beberapa wartawan lama yang masih bertahan turut menyumbangkan tenaga dan pikirannya. Begitu pula para agen dan pengecer yang pernah mengabdi untuk kejayaan Waspada pada masa lalu, menyatakan siap untuk kembali berbakti saat dihubungi.

Pada tanggal yang telah ditentukan, Waspada pun terbit dengan oplah 7.500 eksemplar. Namun, gerak laju pemasarannya memang terasa tak sekencang dulu. Absen yang terlalu lama dari para pembaca dan kualitas cetak Waspada yang mengalami penurunan merupakan kendala utama dalam menarik animo masyarakat untuk membeli Waspada kembali. Munculnya polemik antara Waspada dan sebuah penerbitan media cetak yang mengungkit-ungkit latar belakang organisasi yang pernah digeluti Mohammad Said —yakni menjadi tokoh/ketua PNI Sumatra Utara— juga turut mempengaruhi sirkulasi Waspada sebab, pada saat itu Sarwo Eddie Wibowo, Pangdam II Bukit Barisan, membekukan PNI Front Marhaenis. Akibatnya, sebagian masyarakat menjadi enggan membeli Waspada.

Waspada betul-betul merasakan pahit dan getirnya kehidupan pada masa itu, tidak ubahnya seperti masa bulan-bulan pertama terbit tahun 1947. Akan tetapi, sesekali oplah Waspada memang pernah mengalami peningkatan, yakni antara tahun 1969—1970 ketika judi Hwa Hwe melanda kota Medan. Penyebabnya adalah komik Wak Gantang yang dimuat Waspada kerap dihubung-hubungkan sebagian besar pembaca Waspada sebagai kode nomor yang akan keluar. Namun, manakala judi Hwa Hwe dilarang penguasa, oplah Waspada kembali mengalami kemerosotan hingga di bawah 5.000 eksemplar. Tatkala Presiden Soekarno meninggal dunia pada Juni 1970, sirkulasi Waspada kembali melonjak hingga 10.000 eksemplar. Rupanya masyarakat tertarik dengan berita-berita tentang pemakaman dan kisah pribadi Bung Karno yang disajikan harian ini selama beberapa bulan.

Pada tanggal 13 April 1983 musibah menimpa Waspada. Gedung percetakan dan penerbitan Waspada di Jalan Brigjend Katamso No.1 Medan terbakar. Sekalipun mengalami kebakaran, Waspada tetap terbit pada esok harinya dengan empat halaman. Beberapa waktu kemudian, Gedung Waspada yang terbakar itu kembali dibangun. Setelah pembangunan gedung Bumi Warta di persimpangan Jalan Brigjend Katamso No.1 Medan itu selesai, pada tanggal 15 Desember 1985 diresmikan pemakaiannya oleh Menteri Penerangan Harmoko.

Sejak tahun 1986, Pemimpin Umum/Pemimpin Redaksi Waspada memberikan penghargaan dalam beberapa acara peringatan ulang tahun harian ini, baik kepada karyawan, wartawan, agen, maupun tokoh-tokoh populer versi Waspada. Sejak terbit hingga sekarang, Waspada telah memperoleh penghargaan dari berbagai pihak, termasuk prestasi karya wartawannya untuk tingkat daerah, nasional, regional, dan internasional.

Waspada telah berkali-kali berganti Moto. Moto yang bertahan hingga kini "Demi Kebenaran dan Keadilan" dimunculkan sejak Sabtu, 1 Februari 1969. Moto ini dipilih karena sesuai dengan misi Waspada, antara lain menjalankan hak kontrol, kritik, dan koreksi yang bersifat konstruktif sesuai dengan Undang-undang Pokok Pers.

Sebagai media massa yang dekat dengan masyarakat, Waspada peduli terhadap kegiatan sosial kemasyarakatan, kemanusiaan, olahraga, keagamaan, dan memberi kesempatan kepada mahasiswa dari Perguruan Tinggi Negeri/Swasta untuk melakukan penelitian tugas akhir program diploma (D1, D2, atau D3) atau dalam rangka penyusunan skripsi (S1/Sarjana), khususnya untuk program studi ilmu jurnalistik/komunikasi/kehumasan serta penelitian mahasiswa program pascasarjana. Bahkan, dengan didirikannya Sekolah Tinggi Ilmu Komunikasi Pembangunan terbukti bahwa pengelola Waspada sangat serius dalam memandang prospektif kewartawanan.

Sasaran pembaca Waspada adalah segenap lapisan masyarakat, terutama masyarakat Provinsi Sumatra Utara dan Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Berita dan informasi yang disajikan Waspada menyangkut berbagai hal, seperti sosial, ekonomi dan bisnis, politik, hankam, mancanegara, keagamaan, olahraga, dan kebudayaan.

Khusus untuk menyajikan tulisan-tulisan yang berkaitan dengan masalah budaya, Waspada menyediakan sebuah rubrik bernama "Budaya" yang hadir setiap hari minggu. Dalam rubrik ini dimuat berbagai bentuk karya sastra, seperti cerita pendek, puisi, dan esai. Sejumlah sastrawan Sumatra Utara pernah berpartisipasi di rubrik ini, di antaranya Damiri Mahmud, Tohans, Harta Pinem, Hasan Al Banna, dan Raudah Jambak. Secara konsisten, rubrik "Budaya" pernah diasuh oleh As. Atmadi. Namun sekarang, rubrik ini dipegang oleh Rudi Faliskan. Latar belakang dibukanya rubrik "Budaya" adalah untuk menampung berbagai ide, gagasan, dan pemikiran para sastrawan Indonesia, khususnya Sumatra Utara.