Si Cebol Rindukan Bulan

(1934)
Karya Sastra

Si Cebol Rindukan Bulan merupakan novel karya Aman Datuk Madjoindo. Novel itu khusus untuk bacaan remaja, terutama yang baru mengenal cinta. Novel itu pertama kali diterbitkan oleh Balai Pustaka tahun 1934. Selanjutnya mengalami cetak ulang tahun1949, 1956, 1960, dan tahun 2006. Novel itu terdiri atas lima bab. Bab pertama "Penghulu Wijk X", bab kedua "Jamu Bangsawan", bab ketiga "Pangkal Celaka", bab keempat "Dapat Malu Besar", dan bab kelima "Sedih yang Tak Berkesudahan".

Novel itu mengisahkan seorang gadis bernama Fatimah. Ayahnya bernama Engku Pandeka, seorang kaya di kampung Ulakkarang. Sejak umur delapan tahun, Fatimah ditinggal mati oleh ibunya. Ia diasuh dan hidup bersama ayahnya karena sejak ditinggal mati ibunya, ayahnya tidak kawin lagi. Fatimah dibebaskan oleh ayahnya untuk bersekolah dan belajar bersopan santun serta belajar menjahit dan merenda.

Sejak kecil Fatimah ditunangkan dengan Didong, putra seorang janda miskin yang masih saudaranya sendiri. Keduanya saling mencintai dan juga Engku Pandeka pun sangat menyayangi Didong. Namun, ketika Engku Pandeka bergaul dengan pemuda kaya bernama Tuan Ajis, ia berubah pikiran, pertunangan Fatimah dengan Didong diputuskan karena Fatimah tidak layak bersuamikan orang miskin. Fatimah harus kawin dengan Sutan Ajis agar masa depannya menjadi terhormat. Namun, Fatimah tidak menerima pikiran ayahnya itu karena kebahagiaan dan kehormatan seseorang tidak bisa diukur dengan kekayaan atau kedudukan. Fatimah tetap mencintai Didong. Fatimah pun berpendirian, ia tidak akan menikah seumur hidup jika tidak dengan Didong.

Engku Pandeka segera melamar kepada kedua orang tua Sutan Ajis. Karena paksaan itu, Fatimah memperoleh tekanan jiwa hingga ia sakit keras dan kemudian meninggal. Setelah Fatimah meninggal, Engku Pandeka baru sadar bahwa Sutan Ajis hanyalah mempermainkan putrinya dan ia menyadari pula bahwa selama ini yang dilakukannya salah. Karena Fatimah meninggal, Didong menjadi gila, tingkah lakunya seperti anak kecil. Engku Pandeka melarat, dan hidup menggelandang di emper stasiun Bukittinggi sambil membuat cemeti.