Piek Ardijanto Soepriyadi

(1929—2001)
Pengarang

Piek Ardijanto Soepriyadi, seorang penyair yang biasa dipanggil "Pak Piek", lahir di Magetan, Jawa Timur, 12 Agustus 1929, dan meninggal di Tegal, 23 Mei 2001. Dia pernah tinggal di Gang Marpangat No. 468 Tegal. Istrinya bernama Itiningsih Suprijadi. Data terakhir, sampai tahun 1993, Piek dan keluarganya beralamat di Jalan (Cireme ?), Gang Marpangat, No. 468, Tegal.

Dia menamatkan Sekolah Guru Atas (SGA) Negeri Yogyakarta tahun 1952 dan tahun 1960 lulus B-1 Bahasa Indonesia di Semarang. Sejak tahun 1952 ia menjadi guru Bahasa Indonesia dan Sastra di SMP, kemudian di beberapa SMA, di Jawa Tengah. Piek lama mengajar di SMA Negeri 1 Tegal. Piek juga pernah menjadi dosen Bahasa Sanskerta pada Kursus Guru B-1 Bahasa Indonesia di Semarang. Piek memperoleh gelar Sarjana Muda Pendidikan Jurusan Bahasa Indonesia, tetapi tidak pernah memakainya. Terakhir ia pensiun dari Kepala SMA Negeri Grogol, Demak, kemudian terkenal sebagai tokoh sastra dari Tegal.

Piek banyak dikunjungi oleh para seniman, baik dari Tegal maupun dari berbagai daerah lain, seperti Jakarta, Surabaya, Ujung Pandang, Medan, Maluku, dan Lombok. Tahun 1980-an, ia pernah tinggal di Jalan Gajah Raya No. 21 Semarang karena dipindahtugaskan untuk mengelola perpustakaan di Kanwil P dan K Provinsi Jawa Tengah. Dalam beberapa karyanya, ia menggunakan nama samaran PAS sebagai singkatan dari namanya sendiri. Piek dapat berbahasa Jawa Kuna, Sansekerta, Belanda, dan Inggris.

Dia pernah memperoleh Hadiah Sastra dari majalah Sastra (1962) untuk 5 sajaknya, yaitu "Paman-Paman Tani Utun-, "Gadis Desa", "Telaga Sarangan", "Perempuan Dina'", dan "Bintang dan Bintang" yang dimuat dalam majalah Sastra tahun 1961 meraih hadiah kedua majalah itu tahun 1962. Piek menjadi pemenang pertama Sayembara Penulisan Puisi Kejaksaan Jawa Tengah (1964) dan Pemenang Harapan Penulisan Esai Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) tahun 1978. Lagu Bening dari Rawa Pening (1984) mendapat hadiah dari Yayasan Buku Utama Departemen P dan K, 1984.

Dia menghadiri berbagai peristiwa sastra dan seni, seperti Pertemuan Satrawan di Jakarta tahun 1972, 1974, 1976, 1979, Pesta seni di Jakarta tahun 1975, dan Konferensi Pengarang se-Indonesia di Jakarta tahun 1964. Selain menulis puisi, ia juga menulis prosa (cerpen dan novel), merensensi karya sastra, bermain drama, menerjemahkan, mengulas, serta menerbitkan puisi-puisi bahasa Belanda dan Inggris di media massa. Melalui esai-esainya di media massa, ia menggalakkan pembinaan minat bersastra bagi kalangan muda kota Tegal, terutama para muridnya yang serius terhadap sastra.

Piek mendirikan Remaja Indonesia Club (RIC) sebagai wadah kaum muda di Tegal yang meminati sastra. Ada yang menyatakan Piek adalah sastrawan "pembabtis' penyair muda di Tegal. Jika belum "dibaptis" oleh Piek Ardijanto Suprijadi, penyair-penyair muda itu seakan belum sah menyandang predikat penyair. Berkat "baptisannya", banyak penyair muda Tegal yang karya-karyanya berhasil dimuat, antara lain, di surat kabar Suara Karya, Buana Minggu, dan Sinar Harapan. Pembinaannya terhadap penyair muda tidak hanya dilakukan secara langsung, tetapi juga dengan korespondensi melalui rubrik-rubrik sastra dan budaya yang ditulisnya di berbagai media massa. Korespondensi sastra itu sudah dimulainya sejak tahun 1960 yang juga dilakukan kepada para sastrawan senior di tanah air. Karena berisi uraian tentang kritik sastra, korespondensi itu disebut juga "surat sastra".

H.B. Jassin menggolongkan Piek ke dalam penyair Angkatan 66. Sejak tahun 1944, ia sudah menulis puisi ketika menuntut ilmu di Solo, dan dimuat di majalah Gelora (Surabaya), Liberty (Surabaya), Basis (Yogyakarta), Sastra (Jakarta), dan lain-lain. Tulisan-tulisannya yang berupa puisi, cerpen, kritik, esai atau surat sastra dimuat di berbagai majalah dan surat kabar, seperti majalah Indonesia, Sastra, Horison, Panji Masyarakat (Jakarta). Zaman Baru (Jakarta), Warta Dunia (Jakarta), Gelora (Surabaya), Harian Rakyat (Jakarta), Pikiran Rakyat (Bandung), Kompas, Sinar Harapan, Suara Karya, Suara Pembaharuan, Buana Minggu, Berita Buana, Berita Yudha, Pelita, Terbit (Jakarta). Suara Merdeka (Semarang), Simponi, Swadesi, dan Minggu (Yogyakarta) dan sebagainya.

Sejumlah puisinya disertakan dalam beberapa antologi, yakni dalam Angkatan 66: Prosa dan Puisi (H.B. Jassin, 1968), Tonggak 2 (Linus Suryadi AG., 1987). Dari Negeri Poci (1993), Dari Negeri Poci 2 (F. Rahardi, 1994), Kawindra-Kawindra (antologi puisi bersama Rita Oentoro, 1994), dan Sajak-sajak Perjuangan dan Nyanyian Tanah Air (Oyon Sofyan, 1995). Buku kumpulan puisinya adalah Burung-Burung di Ladang, berisi 26 puisi (1983), mengemukakan 24 macam jenis burung dengan melukiskan sifat dan ciri tertentu dari burung-burung tersebut yang membuat Piek seolah-olah seorang pakar burung); Percakapan Cucu dengan Neneknya (1993), Desaku Sayang (1983), dan Lagu Bening dari Rawa Pening. Dua kumpulan puisinya Nelayan dan Laut (1995) dan Biarkan Angin Itu (1996) makin mengukuhkan namanya. Di samping itu, ia juga menulis buku, yakni Laut sebagai Gelanggang Hidup Manusia (1984), Menyambut Hari Sumpah Pemuda (1984) Gayabahasa (1965), dan lain-lain. Karya-karyanya yang lain adalah "Album Tegal", Setasiun", "Nelayan dan Laut", "Puisi-puisi Perjalanan", "Berkas 55", dan "Semarang". Sejumlah cerpennya dimuat di majalah Horison, Sarinah, dan harian Suara Karya. Satu noveletnya pernah meraih hadiah dalam sayembara mengarang novelet majalah Sarinah.

Dia dijuluki sebagai penyair rakyat karena kepekaannya menangkap kehidupan rakyat kecil yang dalam sajak-sajaknya dituliskan secara teliti dan tragis, tetapi tanpa kesan agitasi. Sajaknya yang berjudul "Semarang" terdiri atas 18 bait dan seluruhnya 92 baris menunjukkan bahwa ia lebih tertarik merekam kehidupan rakyat kecil daripada kemegahan kota itu (Herman Ks, Berita Yudha, 31 Agustus 1985 hal 5). Dia pernah memimpin paduan suara pelajar SGA melalui RRI Yogyakarta. Tahun 1989 Piek pernah diminta oleh Radio Nederland untuk menjadi juri lomba cerita pendek di Belanda.

Adri Darmadji W. dalam Horison, Agustus, 1999, menyebutkan bahwa minat Piek dalam hal menulis tumbuh sejak tahun 1944, ketika ia duduk di kelas 1 SMP Panti Parama, Solo. Saat itu, ia tertarik pada guru bahasa Indonesia yang bernama Wairata yang mengajarnya "enak" dan setiap karangan siswa selalu dikoreksi dan diperbaikinya. Selanjutnya minat itu makin tumbuh subur saat ia sekolah di Sekolah Guru Laki-Laki (SGL), Solo, dan SGAN Yogyakarta.

Dalam menulis sajak, Piek Ardiyanto banyak berangkat dari pengalaman, pengamatan lingkungan alam, dan objek-objek yang sederhana. Kemampuannya mengolah bahasa, merangkai kata menjadi ungkapan yang estetik ditunjang lagi oleh kualitas kontemplasi, menjadikan ia dapat dibedakan dengan panyair-penyair lainnya. Belakangan Piek senang menggubah lagu berdasarkan puisi atau guritan Jawa, tetapi belum sampai ke rekaman, seperti "Ayo Padha mBangun Negara". Piek bahkan pernah menyiapkan kumpulan puisi Jawa. Sajaknya "Andong" dari kumpulan puisinya Seberkas Puisi dari Kota Gudeg dan puisi "Rindu" dari Seberkas Puisi dari Kebun digubah menjadi lagu. Pada awal Februari 1955 lagu-lagu itu dikumandangkan di Fakultas Sastra UGM seusai memberikan ceramah sastra dan guritan Jawa. Berkat guritannya, ia mendapat penghargaan dari Proyek Javanologi. Tulisan-tulisannya termasuk "surat sastra" dalam bahasa Jawa dimuat di majalah berbahasa Jawa Penyebar Semangat (Surabaya) dan Parikesit (Solo).