Bokor Hutasuhut

(1934—...)
Pengarang

Bokor Hutasuhut bernama asli Buchari Hutasuhut, lahir pada tanggal 2 Juni 1934 di Balige. Akan tetapi, sejarah sastra Indonesia terlanjur menuliskan tanggal kelahirannya tahun 1933. Hal itu disebabkan oleh ayahnya yang ingin ia cepat masuk sekolah sehingga umurnya dituakan satu tahun. Bokor Hutasuhut menikah dengan D. Sari Afni Siregar tanggal 11 Maret 1969 di Sipirok, Tapanuli Selatan. Dari pernikahannya ini, mereka dikaruniai empat orang anak.

Ia dikenal sebagai sastrawan yang menandatangani Manifes Kebudayaan, yang semula hendak dinamakan Manifes Perlawanan. Manifes kebudayaan ini ditandatanganinya bersama Gunawan Mohamad dan Wiratmo Sukito sebagai konseptornya yang merupakan bentuk perlawanan 20 seniman Indonesia terhadap Lekra.

Dia dikenal sebagai salah seorang sastrawan Indonesia angkatan 1950—1960-an. Sebagai seorang sastrawan yang peduli pada kehidupan masyarakat, mau atau tidak mau, Bokor terlibat di dalamnya. Apalagi saat itu Lekra menuduh Hamka melakukan plagiat dan rencana pemberangusan buku-buku budaya dan sastra kaum penulis yang digolongkan sebagai pemaklumat Manifes. Dia adalah salah seorang penanda tangan Manifes Kebudayaan dan Sekretaris Jenderal KKPI.

Surat-menyuratnya dengan H.B. Jassin dari Jalan Mandailing Medan (lihat Surat-Surat 1943—1983, Gramedia, 1984) terdapat satu surat yang ditujukan kepada Bokor bertanggal 22 September 1964. Dalam surat itu Jassin meminta pertimbangan Bokor agar dicari jalan ke luar lewat kenalan-kenalan politiknya agar kaum Manifes tidak terus "dianiaya" oleh lawan-lawan "politik"nya, yakni Lekra yang berlindung di balik Pemimpin Besar Revolusi waktu itu. Menurut Hardi dalam Kompas, 4 Februari 2001, Bokor dan Pram saling serang dalam perang wacana tentang orang revolusioner atau bukan. Bokor memang tak sekedar sastrawan sebab ia juga terlibat dalam politik ideologi.

Bokor Hutasuhut menyelesaikan pendidikannya mulai HIS (Holland Inlandse School) setingkat Sekolah Rakyat di Soposurung, Balige tahun 1946. Kemudian, ia menyelesaikan SMP Excelcior di Medan tahun 1953 dan masuk SMA Setia Budi Bagian C (jurusan bahasa dan sastra) di Medan tahun 1954, tetapi tidak sampai tamat hanya kelas satu dan naik kelas dua ia pindah ke SMA Pembaruan Bagian A di Medan. Saat kelas tiga ia tidak lulus di ujian akhir tahun 1957 karena nilai Bahasa Indonesianya tidak mencukupi standar kelulusan pada waktu itu. Padahal, di tahun yang sama cerpennya yang berjudul "Datang Malam" yang pernah dimuat dalam majalah Kisah terbitan Jakarta No. 1 Tahun V, 1957, dijadikan pemerintah bahan mata ujian akhir Bahasa Indonesia bagi siswa SMA Bagian B-I di seluruh Indonesia. Ironis memang. Mungkin keahliannya dalam bidang sastra tidak menjadi pertimbangan untuk kelulusannya yang mungkin saja nilai tata bahasanya rendah. Dia juga pernah mengikuti kursus bahasa Inggris di Kursus Pitman London Medan pada tahun 1954, saat ia baru saja masuk SMA.

Setelah meninggalkan bangku SMA tahun 1957, Bokor Hutasuhut bekerja sebagai PNS di Kantor Penerangan Agama Provinsi Sumatra Utara (Kapenapsu). Dia juga merangkap bekerja sebagai wartawan lepas di beberapa surat kabar di Medan. Di majalah Waktu dan Pelangi, ia mengasuh dan menyelenggarakan Lembar Sastra-Budaya pada tahun 1955—1962. Kegiatan sastra sangat menyita waktunya hingga ia minta berhenti sebagai PNS. Di tahun 1950-an juga Bokor dan teman-temannya mendirikan Gabungan Sastrawan Muda (GSM) di Medan dan membuka cabang di setiap kota dan kabupaten di Sumatra Utara. Dia duduk sebagai Ketua Umum. GSM giat menggelar pertunjukan teater dan kegiatan sastra lain di Sumatra Utara.

Tahun 1962 Bokor hijrah ke Jakarta. Jiwa kesastraannyalah yang mengantarkan langkahnya sampai ke tanah Betawi itu. Ia terlibat aktif dalam organisasi dan kegiatan sastra. Tahun 1962—1967 ia bekerja di Balai Pustaka. Bahkan, Bokor sempat menjadi sekretaris Yayasan Sastra atau Penerbit Majalah Sastra yang diketuai oleh H.B. Jassin hingga majalah ini mengalami kebangkrutan.

Bokor terkenal aktif berorganisasi sejak berada di Medan. Sewaktu diadakan Konferensi Karyawan Pengarang se-Indonesia (KKPI) di Jakarta, 1—7 Maret 1964, Bokor Hutasuhut terlibat aktif sebagai Sekretaris Jenderal yang menandatangai Ikrar Pengarang Indonesia. KKPI dihadiri lebih kurang 350 pengarang dan disponsori oleh para penanda tangan dan pendukung Manifes Kebudayaan serta Badan Musyawarah Kebudayaan Nasional (BMKN), Organisasi Pengarang Indonesia (OPI), Himpunan Seni Budaya Islam (HSBI), Badan Musyawarah Kebudayaan Islam (BMKI), dan Lembaga Kebudayaan Kristen Indonesia (LKKI).

Kesastrawanan Bokor bermula sejak ia meninggalkan kampung halaman menuju Medan pada tahun 1952 untuk melanjutkan pendidikannya. Pertama kali ia menulis sekitar tahun 1953 di Medan pada surat kabar Mimbar Umum Minggu dalam rubrik Syarahan berupa sajak, esai, cerpen, dan reportase budaya. Ini diperjelas dengan keterangan Jakob Sumardjo di Horison (September 2003) yang menyatakan bahwa sastrawan muda yang muncul lewat Kisah tahun 1953, yang berasal dari Batak, hanyalah Bokor.

Nama Bokor Hutasuhut muncul sebagai sastrawan angkatan baru dalam majalah Kisah dengan pengasuh H.B. Jassin, Idrus, dan M.Balfas. Majalah Kisah banyak memuat karya sastra Bokor. Rekan-rekan seangkatannya adalah Trisnoyuwono, A.A. Navis, Muhammad Diponegoro, Ajip Rosidi, Djamil Suherman, Bur Rasuanto, dan lain-lain. Pada zaman itu kebanyakan sastrawan menulis karya sastra dengan latar belakang daerah asal yang sangat kental, tidak terkecuali Bokor Hutasuhut.

Bokor juga menulis pada majalah Waktu dan Pelangi. Karya-karyanya banyak dimuat di majalah terbitan Jakarta seperti Konfrontasi, Indonesia, Mimbar Indonesia, Kisah, Cerpen, Siasat, dan Sastra. Di Yogyakarta karya-karya Bokor Hutasuhut terbit dalam majalah Budaya dan Minggu Pagi. Bokor Hutasuhut juga diorbitkan oleh Majalah Cerita bersamaan dengan Budi Darma, sastrawan dari Surabaya.

Karya-karya Bokor Hutasuhut banyak menceritakan latar budaya Batak, kehidupan masyarakat Batak sehari-hari, dan pandangan hidup masyarakat Batak. Hal ini tentu saja tidak terlepas dari tempat tinggal dan silsilah kehidupannya yang memang asli keturunan Batak dan tinggal di wilayah Tapanuli Utara. Bokor Hutasuhut dan keluarganya adalah penganut Islam. Mereka menjadi masyarakat minoritas di tanah Batak apalagi ayahnya seorang mubalig. Ayahnya berdakwah sampai ke pelosok dusun yang melewati hutan belantara untuk menyebarkan agama Islam. Bokor Hutasuhut kecil tentu saja sering mengikuti ayahnya. Dari sinilah ia banyak bertanya pada ayah dan kerabatnya tentang adat budaya Batak, bagaimana menyikapi sesuatu hal, atau misalnya apa yang harus dilakukan bila bertemu dengan binatang buas. Hal-hal seperti itu mengendap dalam pikirannya, sehingga kemudian dituangkan dalam karya sastra.

Bokor Hutasuhut juga pernah mengatakan bahwa ia sering tidur di rumah temannya satu sekolah waktu di HIS. Letak sekolah antara rumah di Balige dan sekolah di Soposurung adalah 2,7 km.

Penakluk Ujung Dunia adalah novel karya Bokor Hutasuhut yang dirampungkan tahun 1960 dan diterbitkan pertama kali tahun 1965 dan cetakan kedua tahun 1988 diterbitkan oleh PT Pustaka Karya Grafika Utama, Jakarta. Dalam novel inilah terbentang pengalaman Bokor di desanya dan bagaimana masyarakatnya menjalani kehidupan. Novel ini merupakan karya sastra modern yang mengangkat kebudayaan tradisional masyarakat Batak Toba menurut penghayatan manusia modern. Novel ini banyak mendapat tanggapan dan pengkajian oleh ilmuwan dan penggiat sastra, di antaranya H.B. Jassin, Jakob Sumardjo, Totok Amin Soefiyanto, Shafwan Hadi Umry, Taufik Abriasyah, dan Damiri Mahmud. Bokor berterima kasih kepada ayahandanya, HAM Mangaraja Gende Hutasuhut dan Partahi H. Sirait yang turut merangsang daya kerja untuk menyelesaikan novelnya ini.

Sebelum Penakluk Ujung Dunia, tahun 1963 telah terbit kumpulam cerpennya yang berjudul Datang Malam yang diterbitkan oleh N.V. Nusantara. Tahun 1965 terbit juga novelnya yang berjudul Tanah Kesayangan. Novel ini diterbitkan PT Pembangunan, Jakarta. Sebenarnya novel ini sudah selesai ditulisnya sekitar tahun 1954. Tahun 1958 sempat disetujui PT Pembangunan untuk diterbitkan, tetapi lima tahun menunggu, tahun 1963, barulah diterbitkan setelah Bokor menulis ulang novel Tanah Kesayangan ini.

Tahun 1963 itu juga ia menulis cerita bersambungnya yang berjudul "Pantai Barat". Cerita bersambung ini dimuat dalam majalah Sastra, Jakarta No. 1-2, 3-4, 5, dan 6 tahun 1963. Cerbung ini pernah mendapat Hadiah Kedua Majalah Sastra tahun 1963. Tahun ini pula cerbung itu disusun menjadi sebuah novel panjang. Novel ini pernah diajukan ke beberapa penerbit di Jakarta atas bantuan H.B. Jassin dan Ras Siregar, tetapi tidak berhasil. Penerbit Marwillis Publisher, Selangor, Malaysia lebih tertarik untuk menerbitkannya dengan syarat ada revisi dari pengarang. Revisi tersebut dimaksudkan untuk menyesuaikan antara novel yang berlatar Tanah Batak yang mayoritas Kristen dengan pembaca Malaysia yang beragama Islam. Kesepakatan didapat, dengan mengganti isu gereja dengan bunyi loncengnya menjadi masjid dengan suara azannya. Jadilah novel ini diterbitkan pada tahun 1988 dengan judul tetap Pantai Barat. Penerbitan di Malaysia ini juga atas prakarsa teman-teman sastrawan di Medan, terutama setelah diadakan pertemuan terbatas sastrawan Medan dengan penerbit di rumah A. Rahim Qahhar.

Kumpulan cerpennya yang lain berjudul "Menyilang ke Utara" belum diterbitkan hingga kini dan manuskripnya masih tersimpan di Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jasin Jakarta. Judul "Menyilang ke Utara" mungkin diambil dari cerpennya yang berjudul "Selalu ke Utara" yang pernah dimuat dalam majalah Budaya, no. 9-10 tahun VIII /1959. Kumpulan cerpennya yang lain yang belum juga terbit adalah "Daerah Toba Danauku Sayang", "Pecahan Yang Menggumpal" dan "Diatas Sepeda". Kumpulan-kumpulan cerpen ini juga tersimpan di Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin.

Bokor Hutasuhut mengatakan sampai sekarang ia tetap mengikuti perkembangan sastra dengan membaca karya-karya sastra lewat koran walaupun ia tidak aktif menulis lagi. Namun, terkadang esai dan cerpennya masih dapat kita baca di Harian Analisa Medan. Sesekali, sebelum dan sehabis salat Jumat, ia hadir berdiskusi dengan para sastrawan dan seniman di Taman Budaya Sumatra Utara, Medan.